Bully atau dalam bahasa Indonesia disebut perundungan adalah
perilaku tak menyenangkan yang dilakukan secara sengaja dan berulang sehingga seseorang menjadi trauma dan tidak berdaya.
Bully sendiri terdiri dari beragam bentuk yaitu:
1. Bully secara fisik. Misalnya, mendorong, menjegal, meninju atau memukul dan menjambak.
2. Bully secara sosial. Misalnya, mengucilkan, mengabaikan, menolak dan memfitnah.
3. Bully secara verbal. Misalnya, memberikan julukan yang tidak menyenangkan, menghina, menyindir, mengancam dan menyebar gosip.
4. Bully di dunia maya. Misalnya, memperolok di media sosial,
mengubah foto menjadi tidak semestinya dan menyebar pesan yang mengancam nyawa seseorang.
Bully bisa terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun.
Seperti contoh di rumah, bully bisa dilakukan oleh orangtua ke anak, kakak ke
adik atau adik ke kakak. Di sekolah, bully bisa terjadi antara guru dan siswa,
siswa ke guru atau siswa ke siswa. Bully di sekolah bisa terjadi baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Sementara bully di lingkungan masyarakat bisa dilakukan oleh siapapun.
Misalnya, di warung, di jalan, di dalam kendaraan umum atau di tempat publik dan tersembunyi lainnya.
Kenapa seseorang melakukan bully?
Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diketahui. Bully biasanya dilakukan oleh seseorang karena beberapa faktor, diantaranya:
Siapa korban bully?
Umumnya pelaku bully akan menyasar korban yang memiliki beberapa faktor berikut.
1. Anak yang dianggap berbeda, baik secara fisik maupun
kebiasaan. Misalnya, terlalu kurus, terlalu gemuk, atau fisiknya kurang sempurna dan sebagainya.
2 Anak yang sering salah bicara, selalu salah tingkah dan ketakutan.
3 Anak yang baik-baik atau tidak pandai bergaul.
4. Anak yang dianggap menyebalkan tapi tidak mampu membela diri.
5 Anak baru di lingkungan sekolah atau di lingkungan rumah.
6 Anak yang berkebutuhan khusus.
Baca Juga:
Apakah pelaku bully bisa jadi anak sendiri?
Kemungkinan besar ya. Kenapa? Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Badan Kesehatan Masyarakat Kanada, ditemukan bahwa sebanyak 53% siswa di kelas 6-10 melaporkan telah melakukan tindakan bully.
Penelitian lainnya menemukan bahwa siswa kelas 1-6 SD mengaku jadi pelaku yang mengintimidasi temannya di taman bermain sekolah.
Saat mendapati anak sendiri adalah pelaku bully, setiap
orangtua pastinya akan frustrasi. Mulai bertanya-tanya kenapa hal ini bisa terjadi? Apa yang salah dengan pola asuh?
Ada beberapa hal yang bisa orangtua lakukan saat mendapati anak adalah pelaku bully.
Pertama, jangan menyalahkan diri sendiri.
Adalah normal bagi orantua untuk merasa malu dan bersalah saat
tahu anaknya menindas atau bertindak kasar kepada anak lain. Tapi dengan mengetahui
hal itu, orangtua bisa mengerti bahwa anak masih belum memiliki pola pemahaman tentang bagaimana caranya bersosialisasi yang baik dengan orang lain.
Orangtua bisa memanfaatkan masalah ini untuk mendidik anak soal empati, rasa mengasihi dan peduli terhadap orang lain.
Kedua, evaluasi pola asuh di rumah.
Seperti yang disampaikan di atas, bully bisa terjadi karena
seseorang mengalami tindakan serupa baik di lingkungan sosial, sekolah maupun di rumah. Jadi, periksalah apa ada yang salah dengan pola asuhmu.
Bisa jadi anak menjadi pemarah karena dia suka menyaksikan orangtua marah bahkan melampiaskan kemarahan kepadanya.
Perbaikilah masalah itu dengan belajar memberikan teladan yang baik kepada anak. Teladani bahwa setelah merasa marah, adalah baik untuk mengakuinya dan meminta maaf.
Baca Juga:
Ketiga, kasih konsekuensi saat anak membully orang lain.
Bully bisa jadi siklus berulang yang sangat berbahaya. Kalau tak
dikendalikan, maka anak bisa semakin menjadi-jadi dan berubah jadi sosok yang kejam.
Itulah alasan kenapa penting bagi orangtua untuk menetapkan konsekuensi yang besar terhadap anak.
Misalnya, waktu melihat anak bersikap kasar ke anak lain,
segera tarik dia dan katakan pasanya untuk minta maaf. Hal ini mengajarkan anak pentingnya mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada orang lain.
Konsekuensi itu tak mesti harus keras. Jangan biarkan anak menjalani
hukuman yang terlalu keras karena bisa jadi membuat anak malah merasa marah atau malu.
Keempat, periksalah dirimu sendiri.
Saat anak berubah jadi pembully. Itu artinya ada satu karakter yang tak baik yang tanpa sengaja diwariskan dari orangtuanya.
Kalau ingin melihat anak-anakmu baik, maka tunjukkanlah kepada mereka bagaimana cara menjadi orang yang baik dan penolong.
Apakah kamu suka membanting pintu saat kesal, meninggikan
suara ke pasangan, atau bicara kasar soal orang-orang terdekat? Jika ya, saatnya
untuk mengubah perilaku buruk itu.
Jadi, ciptakanlah suasana rumah yang aman, nyaman dan
menyenangkan. Misalnya, memberikan perhatian, kasih sayang, penghargaan kepada
anak, serta meningkatkan komunikasi yang baik antarkeluarga. Orangtua juga bisa
melatih keterampilan sosial anak dengan mengajari mereka tentang bersikap ramah,
penuh senyuman, hangat kepada orang lain dan mau menolong.