Seorang pria Kristen
China bersama lima orang anggota keluarganya melarikan diri ke Taiwan setelah
tujuh bulan lalu gerejanya ditutup dan pendeta serta banyak anggota jemaat yang
ditangkap oleh pemerintah China.
Pada hari Minggu
(7/7/2019) lalu, adalah pertama kalinya Liao Qiang menyembah Tuhan secara
terbuka setelah gerejanya ditutup tujuh bulan lalu. Pria berusia 49 tahun itu
menjejakkan kaki di Taiwan seminggu lalu.
Ia dan putrinya yang
berusia 23 tahun, Ren Ruiting menggambarkan selama tujuh bulan terakhir mereka
hidup di bawah pengawasan ketat pemerintah.
Beberapa tahun
terakhir ini pemerintah komunis China melakukan penekanan besar-besar terhadap
institusi agama, termasuk membuldoser gereja dan masjid, melarang anak-anak di
Tibet belajar agama Budha dan melakukan “pendidikan ulang” terhadapan jutaan
etnis minoritas di sebuah kamp tertutup.
Hal ini merupakan
perintah langsung dari Presiden China sekaligus ketua partai komunis Xi Jinping
untuk memastikan rakyat China setia kepada partai atheis mereka.
Gereja tempat Liao
Qiang berjemaat adalah Early Rain Covenant Church. Gembala mereka, Wang Yi
ditangkap karena dianggap sebagai pemberontak. Wang Yi berkomitmen
menyelenggarakan acara doa setiap 4 Juni untuk memperingati kejadian berdarah
pada tahun 1989 di Taman Tiananmen, Beijing. Sebuah peringatan yang ingin
dihapus dari ingatan masyarakat oleh Pemerintah China.
Sejak penangkapan
Pendeta Yi dan beberapa jemaat, seluruh jemaat dikenakan wajib lapor kepada
pihak berwajib tentang keberadaan mereka setiap hari secara online, jika tidak
keselamatan mereka tidak akan dijamin.
“Saat itulah aku tahu
bahwa disini tidak aman lagi bagi kami, dan bahwa anak-anakku yang paling dalam
bahaya,” ungkap Liao setelah mengikuti acara kebaktian di sebuah gereja kecil
di Taipei.
Untuk mengkonfirmasi berita ini, APNews.com menghubungi pemerintah China, namun tidak mendapatkan
tanggapan.
Liao dan keluarganya
berharap dapat berada di Taiwan sambil menunggu pengajuan suaka ke Amerika
Serikat. Saat ini mereka masih menggunakan visa turis berjangka 15 hari saja,
setelah itu nasib mereka tidak jelas.
“Saya tidak tahu apakah mereka bisa tetap tinggal setelah visa mereka habis, kecuali pemerintah Taiwan bersedia menjadikan hal ini kasus kemanusiaan dengan dasar persekusi agama,” demikian jelas Chiu Ling-yao, sekretaris jendral dari Taiwan Association for China Human Right yang membantu keluarga tersebut mencari solusi.
Baca juga:
Lagi-lagi, Pendeta Gereja China Ini Ditangkap Karena Tolak Lepaskan Salib
Gerakan Yudas Mini, Pemerintah China Beri Imbalan $1500 Untuk Laporkan Orang Kristen