Banyak orang tua mengeluh tentang anaknya yang terlalu sering atau
banyak nonton TV. Dampaknya antara lain adalah anak susah disuruh belajar,
tiba-tiba menanyakan hal-hal yang membuat orangtua kebingungan (seperti:
diperkosa, pekerja seks komersial dan lainnya), bersikap kasar dan tidak sopan
pada orangtua (meniru sinetron), bahkan meniru perbuatan agresif yang sangat berbahaya (contoh: Smack Down). Apa yang harus dilakukan orangtua?
Perlu
disadari oleh orangtua bahwa TV adalah alat atau teknologi. Sama seperti setiap
alat/teknologi lainnya, TV punya sisi baik (untuk itulah TV dibuat: media
informasi, sarana mendidik, hiburan untuk keluarga, bahkan di Indonesia TV
dimanfaatkan untuk siaran agama), dan punya sisi buruk (VHS = Violence, Horror & Sex). Sisi buruk inilah yang bisa membahayakan perkembangan jiwa anak.
Hampir semua
stasiun TV (swasta) adalah komersial. Tetapi yang komersial ini justru yang
menarik dan selalu ditonton. Yang tidak komersial (misal: TVRI, National
Geographic, Animal Planet) jarang ditonton, karena tidak menarik. Padahal yang
non-komersial itulah yang justru bebas VHS. Nah, buat stasiun-stasiun TV yang
komersial, patokan mereka adalah rating. Acara yang ratingnya tinggi, itulah
yang dikejar tayang, padahal rating itu tergantung pada banyaknya yang menonton
juga. Jadi ada semacam lingkaran setan: penonton suka rating tinggi yang
stasiun TV tayangkan, sementara penonton lainnya tidak suka (tetapi mau tidak mau tetap nonton juga).
Ketidak
konsisten-an penonton itu sendirilah yang jadi sumber masalah. Dari pihak
stasiun TV, tentu mereka mengejar setoran untuk memberi nafkah pegawai-pegawai
dan keluarganya, dan keuntungan buat pemilik modal. Dari pihak pemerintah
(KPI/Komisi Penyiaran Indonesia, LSF/Lembaga Sensor Film), sudah ada berbagai UU/Peraturan
yang membatasi penyiaran, dan sudah dilakukan peneguran, tetapi stasiun tetap membandel.
Di sisi
lain, jangan dilupakan dua hal: Pertama, anak selalu mencontoh
model (orang dewasa, khususnya orangtua). Kedua, Stasiun TV ada
belasan (termasuk TVRI dan TV lokal), bahkan yang punya TV kabel bisa menangkap
siaran dari puluhan stasiun. Dua kenyataan ini sebenarnya merupakan kunci jawaban terhadap pengendalian perilaku anak dalam menonton TV.
Pertama Beri contoh pada anak. Orangtua
sendiri tidak menonton TV di saat anak sedang belajar (misalnya: semua TV di rumah dimatikan),
Kedua Orang tua hanya menonton
siaran-siaran pilihan yang mendidik, informatif, menghibur, dan sebagainya
tetapi bebas VHS. Demikian pula orang dewasa lain di rumah (pembantu, anggota
keluarga lain) harus berbuat seperti orangtua. Contoh: jangan sekali-sekali
menyusuh anak nonton TV sendirian, hanya karena orangtua/pembantu sibuk dengan
urusan lain (pokoknya anak diam/tenang), atau melarang anak nonton TV sementara orang dewasa lainnya meninton di kamar.
Kalau hal
ini dilatih sejak anak masih kecil, anak akan terbiasa dengan pola nonton TV
yang baik. Kalau anak sudah terlalu besar (ABG ke atas), ajaklah mereka
berunding untuk mencapai kesepakatan dan kesepakatan itu dijalankan dengan
konsekuen oleh seluruh isi rumah (termasuk orangtua dan orang-orang lain
serumah).