“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta
turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena
itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang
turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal.
Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita
untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya
seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1 Korintus 9: 24-27)
Di ayat di atas Paulus menyebutkan seorang
pelari tidak berlari tanpa tujuan dan petinju tidak sembarangan saja memukul
(ayat 26). Baik pelari maupun petinju harus berlatih keras lebih dulu sebelum
mereka berani tampil di lapangan. Tujuannya hanya satu yaitu untuk merebut posisi sebagai pemenang pertama.
Tapi hal yang unik di ayat ini
adalah bagian dimana Paulus menyampaikan supaya kita semua berlari sedemikian
rupa. Karena dalam kekristenan kita semua bisa menjadi pemenang. Kemenangan itu
bukan hanya milik satu orang saja. Kemenangan ini bahkan tidak ditentukan dari
seberapa cepat kita berlari. Karena berlari cepat pun bahkan bisa membuat kita keluar
dari garis lintasan. Kamu memang sangat cepat, tapi hal itu akan sia-sia saja kalau
kamu berlari keluar dari lintasan. Seperti saat seseorang berbuat curang dengan mengambil jalan pintas supaya bisa sampai pada tujuan.
Hal yang paling penting dalam perlombaan
bukan tentang seberapa cepat kita berlari. Tapi seberapa fokus dan berkomitmennya kita pada tujuan.
Di penghujung tahun ini, mungkin
terbersit pertanyaan ‘Are you finishing
well?’ Pertanyaan ini kemudian mengingatkan kita tentang perjalanan yang sudah
kita lalui selama setahun penuh. Hanya tersisa dua bulan lagi untuk menutup tahun 2018 ini. Dan kamu mulai merenungkan kembali tentang ayat di atas.
Mari belajar dari seorang pelari asal
Tanzania, John Stephen yang benar-benar telah menjadi contoh bagi orang Kristen tentang bagaimana harusnya sikap kita dalam menyelesaikan pertandingan kita.
John Stephen ikut dalam sebuah perlombaan
dan dia tiba satu jam setelah pelari bernama Walda merebut medali emas dalam pertandingan itu.
Sejam setelah kemenangan Walda, John
Stephen merupakan pelari terakhir yang menyelesaikan lomba itu. Teriakan terus mengaung,
namun John tak menghiraukan selain terus berlari sampai garis akhir. Dengan kondisi
kaki yang pincang akibat cidera, John akhirnya menyelesaikan pertandingannya dengan perjuangan yang panjang namun begitu menginspirasi.
Apa yang dilakukan John akhirnya diberitakan
di beragam media. Banyak yang memuji semangat dan tekadnya yang tak pantang menyerah.
Pelari Afrika itu dianggap sebagai lambang dari semangat seorang olahragawan sejati.
Tekadnya dianggap sebagai gambaran keberanian yang terbaik. Semua orang akhirnya menghormati John Stephen.
Saat ditanya alasan kenapa dia tak menyerah
saja saat kakinya sudah lelah dan lomba sudah selesai. Namun John mengungkapkannya
dengan pernyataan yang tak terduga, “Negaraku tidak mengirimku untuk berlari sepanjang
lima ribu mil untuk memulai lomba saja tapi mereka mengirimku lima ribu mil untuk menyelesaikan lomba.”
Perlombaan kita di dunia ini bukan untuk
mengejar hadiah yang ditawarkan dunia. Upah itu akan diberikan di surga, bukan
di bumi. Yaitu kekekalan bersama Tuhan di surga. Untuk memperoleh itu, kita harus
terus berlari sedemikian rupa, tak perlu harus menjadi yang tercepat asal kamu tetap
berlari di lintasan.
Jadi, mari berhenti sejenak. Ambil waktu untuk merenungkan kembali
pertanyaan ini ‘Are You Finishing Well?’ Kalau kamu mendapati dirimu sudah berada
di luar track, segeralah kembali dan mulailah berlari kembali.