Siapa sih yang tidak menginginkan memiliki
kehidupan yang lebih baik lewat uang yang dimilikinya? Tidak terkecuali aku.
Lewat seorang teman yang kukenal dekat dengan istri, kami memutuskan untuk ikut berinvestasi kepadanya dengan keuntungan yang sangat menggiurkan.
Dua kali lipat. Itulah jumlah keuntungannya.
Meski ragu, tapi dengan berbekal kepercayaan, aku memberanikan diri untuk
menyerahkan sejumlah uang untuknya. Aku pikir, dengan keuntungan yang cukup besar tersebut, kehidupan keluarga kami akan jadi jauh lebih bahagia.
Istriku, Donna berhasil membuatku memutuskan
untuk mengikuti teman yang telah dikenalnya selama lebih dari 7 tahun ini.
Belum lagi, orang ini telah memberi jaminan kepada kami berupa sertifikat tanah, BPKB mobil, kami pun semakin mantap untuk menyerahkan uang kepadanya.
Total uang yang kami serahkan kepadanya adalah
Rp. 300 juta. Sumber uang tersebut diantaranya, 1/3 berasal dari gesek tunai
kartu kredit, sementara 2/3nya adalah uang kami pribadi. Saat itu, tentu saja
rasa was-was kurasakan. Hanya saja, aku mengurungkan perasaan itu setelah mengetahui keuntungan yang akan diterima nantinya.
Uangku dibawa kabur
Tidak lama setelah aku dan istri memberikan
uang tersebut kepada teman tersebut, nomor handphonenya tidak lagi bisa
dihubungi. Apalagi saat tagihan kartu kredit kami sudah jatuh tempo. Mau itu di
kantor, di rumah, atau dimanapun, rasanya telepon kami ini tidak berhenti dari orang-orang yang menagih utang tersebut.
Parahnya lagi, asset-aset berupa surat rumah,
surat kendaraan dan lain sebagainya, yang digunakan olehnya sebagai jaminan,
semuanya tidak pernah ada. Usaha aku dan istri tidak sampai di situ. Kami
berusaha untuk menghubungi orang ini untuk dimintai kepastiannya terhadap uang
yang telah kami percayakan. Hasilnya nihil. Kami dengar, orang tersebut telah pergi membawa uang kami ke Australia.
Depresi menjadikanku hampir membunuh
Ada saat dimana kami sudah lelah menghadapi tagihan
dari mana-mana. Kantor, rumah, semuanya menjadi sasaran mereka. Bukan kami
tidak mampu membayar, hanya saja kami butuh waktu untuk melunasinya. Sampai satu waktu, dimana ada seorang penagih utang yang mendatangi rumah.
Aku emosi. Ada pisau didekatku. Ada perasaan
ingin meraih pisau tersebut dan menusukkannya pada penagih utang tersebut.
Untungnya, ia tidak emosi. Aku tidak jadi meraih pisau tersebut dan kami membicarakan perkara hutang ini dengan baik.
Hutang membuat keluarga kami mengalami keretakan
Aku menyalahkan kejadian ini sepenuhnya pada
istriku. Kalau saja ia tidak mengenalkanku pada orang itu, pastilah kehidupan
kami lebih baik sekarang ini. Aku mulai menjadi pribadi yang lebih emosi. Aku
tidak lagi berdoa. Aku selalu menolak ajakan istri untuk bersaat teduh setiap
pagi. Aku bisa mendengar istriku membacakan Mazmur 23. Tetapi aku tetap dalam posisiku yang tertidur.
Sebagai gantinya, aku menjadi pribadi yang
makin emosian. Kehidupan malam juga menjadi pelarianku. Aku bahkan berselingkuh di belakang istriku. Semakin hari, rasanya beban kehidupanku semakin berat.
Di perjalanan pulang setelah mampir ke sebuah
klub malam, ada perasaan untuk mengakhiri kehidupanku. Aku berkendara dengan
sangat kencang, menabrakkan diriku ke sebuah pohon. Aku terjatuh, tetapi luka
tersebut tidak parah. Aku mulai merenungkan kehidupanku. Aku ingat, kalau sampai aku mati, siapakah yang akan bertanggung jawab atas istriku?
Tak jadi bunuh diri, keluarga kami dipulihkan
Aku menyadari kalau istriku berusaha sebaik
mungkin untuk bisa membayar hutang-hutang ini. Dari pagi sampai malam, bahkan
akhir pekan pun ia habiskan untuk bekerja. Sampai aku mendapatinya sakit. Ada
perasaan iba kepada istriku tersebut. Aku menyadari kalau seharusnya, aku sebagai seorang kepala keluargalah yang seharusnya bekerja dengan keras.
Aku menyesal atas setiap hal yang kulakukan. Aku
ingat pernah memperlakukannya dengan kasar, aku mohon ampun atas perselingkuhan
yang kujalani, aku memohon ampun atas setiap kesalahan yang telah aku perbuat kepada istriku. Tangis kami pecah.
Aku tahu kalau ini bukanlah perkara mudah untuk
menerimaku kembali. Aku percaya kalau bukan karena Kristus, kehidupan
pernikahan kami tidak akan kembali pulih. Aku merasakan sukacita pada detik itu juga.
Kami berdua melepaskan pengampunan satu dengan
yang lain, juga pada orang yang telah menipu tersebut. Puji Tuhan, ketika
keluarga kami pulih, Tuhan membukakan segala caraNya untuk melepaskan kami dari
beban hutang kami. Tuhan mulai memberi
kami hikmat agar bisa menyelesaikan permasalahan ini. Bahkan, salah satu
kerinduan kami sebagai suami istri, yaitu anak, kami juga telah mendapatkannya
dari Tuhan.
Aku percaya, apa pun permasalahan kita, apa pun
yang kita pergumulkan, saat kita datang kepada Tuhan untuk memohon ampun dan meminta
pertolonganNya, maka Tuhan Yesus pasti akan mengulurkan tanganNya untuk kita.