Membaca berita pagi ini tentang
dua anak sekolah dasar yang berkelahi hingga berujung tewasnya salah seorang
anak membuat saya sangat prihatin. Anak-anak berantem atau berkelahi adalah hal
wajar dan biasa, namun jika hingga melakukan kekerasan fisik yang menyebabkan
meninggalnya salah seorang dari mereka maka hal ini adalah kejadian yang serius.
Tetapi hal ini bukanlah kasus
pertama yang terjadi di Indonesia, pada November 2017 lalu, seorang bocah kelas
6 SD tewas saat berkelahi dengan temannya di sekolah di daerah Banjaran,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Anak tersebut tidak bisa diselamatkan setelah dipukuli oleh teman sekolahnya.
Pada Agustus 2017, korban dan
pelaku lebih muda lagi, yaitu kelas 2 SD. Siswa dari sebuah sekolah dasar negeri di Sukabumi itu tewas karena berkelahi dengan teman sekelasnya.
Lalu sebuah pertanyaan muncul dalam hati saya, “Apa yang menjadi pemicu prilaku agresif anak-anak ini?”
Mereka seperti tidak bisa mengendalikan diri lagi saat berkelahi dengan temannya. Hati mereka seperti tidak tergerak saat melihat temannya menangis dan mengeluarkan darah.
Baca juga :
Anak Kecanduan Pornografi dan Video Games? Coba Cek Perubahan Perilakunya dari 8 Ciri Ini
Bermain Video Games Kekerasan Beresiko Minder
Apa yang terjadi?
Dari riset yang saya lakukan
secara online, saya dapati bahwa tayangan film dan juga game yang dimainkan
anak-anak mempengaruhi prilaku agresif mereka. Dua hal ini sangat akrab dalam
kehidupan anak-anak, film dan game, sesuatu yang mereka lihat dan mainkan setiap hari.
Menurut hasil penelitian yang
dirilis pada tahun 2011, seorang profesor psikologi dari Ohio State University,
Brad Bushman menyatakan bahwa ada hubungan antara video game dan prilaku agresif.
“Berdasarkan 130 penelitian
yang dilakukan pada lebih dari 130.000 partisipan di berbagai penjuru dunia,”
demikian Bushman menjelaskan bahwa penelitian tersebut menemukan bukti bahwa
video game yang mengandung unsur kekerasan akan menuntun kepada “meningkatnya
pikiran agresif, perasaan marah, gairah psikologis, termasuk naiknya denyut
jantung, dan prilaku agresif. Hal itu juga menurunkan prilaku suka menolong dan perasaan empati kepada orang lain.”
Sangat miris bukan?
“Mereka mengalami kesulitan
untuk mengerti perbedaan antara senjata yang sesungguhnya dan senjata mainan,”
demikian salah satu kutipan dari riset Benjamin, Kepes, & Busman yang dirilis tahun 2017 lalu.
Penelitian lain yang dilakukan Dillon, & Bushman, pada tahun yang sama lebih mengejutkan. Mereka
menaruh sebuah senjata di sebuah laci lemari. Senjata itu telah dimodifikasi
namun tidak berpeluru namun bisa menghitung berapa kali pelatuknya ditarik.
Anak-anak itu tidak diberi tahu bahwa ada senjata di ruangan itu, untuk mencari tahu apakah mereka bisa menemukan dengan sendirinya.
Sekitar 83 persen anak menemukannya, kebanyak
dari mereka memainkannya. 27 persen segera menyerahkannya kepada petugas
peneliti.Sisa 52 persen anak yang menemukan
senjatan itu, 42 persennya memainkannya dalam berbagai cara. Hampir semua anak
yang diperlihatkan video klip tanpa adegan penembakan tidak menarik pelatuk
senjata. Anak-anak yang diperlihatkan video klip dengan adegan penembakan,
lebih sering menarik pelatuk senjata itu, rata-rata 2-3 kali, dan menghabisakan
waktu 4 sampai 5 kali lebih banyak waktu bermain dengan senjata itu
dibandingkan mereka yang diperlihatkan video tanpa adegan penembakan. Yang
lebih menakutkan, beberapa dari anak-anak ini menarik pelatuk lebih dari 20 kali, bahkan ada yang di kepala anak lain dan menarik pelatuknya.
Menakutkan bukan?
Film dan game yang mengandung kekerasan
menstimulasi otak untuk melakukan hal yang sama. Hati nurani mereka menjadi
tidak peka, mereka tidak memiliki empati dan belas kasihan kepada orang lain. Apakah kita akan membiarkan hal ini terjadi?
Tentu sebagai orang tua kita harus memperhatikan
apa yang dimainkan dan ditonton oleh anak-anak kita. Namun bukan hanya itu,
masyarakat dan lembaga yang terkait harus menunjukkan kepedulian dengan
membludaknya berbagai film dan game yang mengandung kekerasan yang dengan
sangat mudah bisa diakses oleh anak-anak.
Yuk, sebarkan kesadaran ini dan mari bersama
kita lindungi anak-anak kita sehingga masa depan mereka yang indah tidak
hancur. Kita bisa mencegahnya, yuk lakukan tindakan sekarang juga.