Namanya
Bill. Dia adalah mahasiswa pintar. Tapi penampilannya cukup berantakan, mulai
dari rambut yang acak-acakan, memakai kaos bolong, celana jins tapi tanpa sepatu.
Dia hanya punya sepotong pakaian itu selama empat tahun kuliah. Dia adalah sosok yang cukup aneh. Tapi tak lama kemudian, dia jadi seorang Kristen.
Di suatu Minggu,
Bill memutuskan untuk pergi ke gereja yang terletak di seberang kampusnya. Gereja
itu beraliran konservatif. Setiba di sana, Bill pun mulai masuk tentu saja
tanpa sepatu dan dengan jins, kaos bolong serta rambutnya yang acak-acakan. Ibadah sudah hampir dimulai jadi Bill harus segera mencari tempat duduk yang kosong.
Bill benar-benar
kesulitan mendapatkan tempat duduk karena memang semua kursi sudah penuh. Dengan
penampilannya yang sangat kacau, jemaat gereja pun terlihat kurang nyaman. Tapi
tak satupun yang berani menegurnya. Bill pun berjalan perlahan-lahan sampai dia
hampir mencapai mimbar. Tapi di sanapun dia tak mendapatkan satu buah kursi kosong
untuk ditempati. Akhirnya, dia memutuskan untuk jongkok di karpet dekat mimbar.
Sebagai mahasiswa,
Bill merasa tindakannya biasa saja. Karena di kampus mahasiswa sudah terbiasa duduk
di lantai bersama. Dia tak menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang sama sekali tak pernah terjadi di gereja itu.
Semua jemaat
gereja mulai merasakan ketegangan. Tiba-tiba seorang penatua gereja berjalan dari
lorong gereja dan menghampiri Bill. Pria itu berlihat sudah berusia 80 tahun, ubanan
dan mengenakan tiga setelan baju. Dia tampak sangat elegan, terhormat dan
sopan. Perlahan, dia berjalan dengan tongkatnya menghampiri Bill yang sudah ada di depan sana.
Semua orang
tentunya merasa keberatan dengan tindakan sang penatua itu. Mereka berpikir bahwa
dia tak seharusnya menghampiri anak muda itu. Usianya yang sudah tua membuat pria
itu cukup lama mencapai mimbar. Sementara seisi gereja seakan membisu menyaksikan tindakan penatua.
Semua mata mengamati
setiap gerak-gerik pria tua itu dan masih terus bertanya tentang apa yang akan
dilakukannya kemudian. Dan tiba-tiba, pria itu menjatuhkan tongkatnya ke
lantai. Lalu dia mulai duduk di sebelah Bill dan mengajaknya bercerita supaya dia tak lagi merasa sendirian.
Menyaksikan
momen itu, semua orang yang ada di gereja tiba-tiba merasa emosi. Saat mereka
melihat apa yang sedang terjadi, penatua itu berkata, “Apa yang akan aku khotbahkan,
kalian semua pasti tak pernah mengingatnya. Apa yang baru saja kalian lihat, kalian
tidak akan pernah lupa. Berhati-hatilah dengan cara hidup kalian. Karena kalian
adalah satu-satunya Alkitab yang bisa dibaca oleh orang lain.”
Ya, kita
seharusnya adalah Alkitab terbuka bagi orang lain yang menyaksikannya. Kita bukanlah
tubuh Kristus kalau hanya sekadar mendengar khotbah di gereja setiap minggu dan
mengaku seorang Kristen. Tanpa perbuatan, iman kita hanyalah sia-sia. Jadi, mari
ubah cara pandang kita. Biarkan belas kasihan hidup atas hati kita sehingga penghakiman
tak lagi punya ruang untuk menguasainya.