Jono Simbolon, pria Kristen yang
tinggal di Aceh ini harus jalani hukuman cambuk karena berjualan alkohol. Hal ini
dianggap bertentangan dengan Hukum Syariah yang tak membenarkan siapapun menjual minuman keras ini di Aceh.
Jono ditangkap pada bulan Oktober 2017
lalu dan dijatuhi hukuman sebanyak 36 kali cambukan. Meski sudah cukup lama,
tapi berita ini jadi topik bahasan yang memanas setelah beberapa media asing mengangkat hukuman yang dialami Jono Simbolon.
Media seperti The Independent, Express, Daily Mail, Christian Times dan Channel News Asia secara serempak mengangkat berita ini di halaman media onlinenya.
Di Channel News Asia sendiri diberitakan
bahwa Jono adalah orang Kristen ketiga yang dicambuk di depan umum sejak Aceh menerapkan
hukum Syariah yang disebut dengan Qanun itu pada tahun 2001. Meskipun diterapkan
sesuai dengan hukum Islam, tapi warga tanpa terkecuali harus tunduk pada hukuman
ini. Mereka yang kedapatan melanggar berhak memilih untuk dihukum baik di bawah
sistem nasional atau hukum agama. Jono sendiri memilih hukum agama dimana dirinya harus menjalani cambukan tepat di depan sebuah masjid di kota Banda Aceh.
Jaksa penuntut umum, Erwin Desman menyampaikan
bahwa orang-orang Kristen Aceh mungkin lebih memilih hukuman cambuk untuk menghindari tuntutan pidana yang begitu rumit.
Seperti diketahui, ada sebanyak tujuh pria dan dua wanita yang juga ikut dicambuk di hari yang bersamaan dengan Jono, termasuk diantaranya mucikari, pelacur dan penjudi.
Di Indonesia, Aceh memang adalah
satu-satunya provinsi yang diberikan hak otonomi sendiri oleh pemerintah demi meredam perlawanan kelompok pemberontak yang dinamakan GAM beberapa tahun silam. Karena
itulah Aceh yang terdiri dari 98% penduduk mayoritas Muslim ini mulai
menerapkan hukum syariah sejak dilakukannya kesepakatan damai dengan pemerintah pusat pada tahun 2005.
Hukum syariah jadi hukum tertinggi yang
bertujuan untuk mencegah timbulnya kejahatan seks, jalinan hubungan yang tidak sehat, perzinahan dan seks di bawah umur.
Namun tak sedikit media asing yang
kemudian membeberkan sikap lembaga HAM dunia terkait intoleransi di
Indonesia. Human Right Watch sendiri baru saja melayangkan kecaman kepada Presiden
Joko Widodo karena dinilai gagal mencegah tindak intoleransi yang memicu diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum minoritas di Indonesia.
“Pemerintah Jokowi menutup mata terhadap
memburuknya pelecehan agama dan seksual kaum minoritas. Pemerintah memakai undang-undang
penghujatan yang sangat ambigu untuk menargetkan kelompok agama tertentu,
sementara polisi melakukan serangan invasive terhadap orang-orang LGBT,” ucap Phelim Kine, pemimpin dari kelompok deputi HAM Asia.
Namun menanggapi aturan hukum yang diberlakukan
di Aceh, Walikota Banda Aceh Aminullah Usman menyampaikan pembelaan. “Ini (hukum
syairiah) adalah komitmen pemerintah kita untuk menegakkan hukum Islam. Kalau
ada pelanggaran segera melaporkannya ke polisi Syariah dan kami akan melakukan hukuman
cambuk seperti hari ini,” terangnya.
Aceh memang sudah dikenal luas sebagai
provinsi yang menjunjung tinggi aturan agama sebagai hukum utamanya. Sementara provinsi
lainnya masih tetap mengacu pada Undang-undang sebagai dasar hukumnya. Bagaimanapun,
di sisi lain hukuman terhadap mereka yang melanggar hukum tetap bisa diterima selama
hal itu memang tidak memandang suku, agama, dan ras seseorang.