Kesibukan orangtua
terhadap pekerjaan jadi penyebab kurangnya komunikasi di tengah keluarga Adrian
Himawan. Sementara, dia harus menjalani segudang aturan ketat yang dibuat oleh orangtuanya di rumah, termasuk soal sekolah.
Merasa jauh
dari perhatian orangtua dan terkekang dengan segudang aturan-aturan hidup, Adrian
pun akhirnya berubah menjadi pribadi yang sembrono. Dia mulai nakal dan ikut-ikutan
geng balapan liar, kebut-kebutan dan tak peduli akan bahaya yang bisa saja dialaminya. Baginya, balapan adalah suatu kepuasan.
“Begitu
banyak aturan-aturan di dalam keluarga saya, yang akhirnya membuat saya pengen memberontak.
Kalau orang berbuat A, saya pengen selalu berbuat B. Jadi saya selalu pikir,
kenapa orang selalu harus berbuat A, kenapa nggak melakukan hal yang berbeda?” demikian Adrian menuturkan dalam sesi kesaksiannya kepada Tim Solusi.
Gejolak pemberontakan
dalam dirinya makin menjadi-jadi. Adrian bahkan kerap kali membuat keonaran dan
perkelahian di sekolah. Baginya, hari rasanya tak sempurna kalau belum melakukan
keonaran. Kenakalan inilah yang membuat dia harus berulang kali dikeluarkan dari
sekolah. Setelah berpindah sekolah sebanyak tiga kali, Adrian tetap saja bertingkah
sama. Merasa tak lagi betah, Adrian pun memilih untuk tak lagi menyelesaikan jenjang pendidikan SMAnya.
“Akhirnya saya
berhenti sekolah total. Saya isi hidup saya juga dengan pergaulan malam, seperti
free sex, drugs. Saya pakai narkoba. Terus..kehidupan saya, saya isi dengan kehidupan malam,” lanjutnya.
Untuk memenuhi
kebiasaan buruknya, Adrian bahkan tega memukuli mama dan papanya. Tak ada terbersit
penyesalan dalam dirinya setelah melakukan hal itu. Dia merasa seolah berkuasa dan lepas kendali.
Sampai suatu
ketika, kebiasaannya membuat Adrian jatuh sakit. Sementara dia memilih minggat dari
rumah. Saat-saat itulah dirinya merasa sendiri, ditinggalkan semua orang dan kesepian.
“Di tengah saya sedang sakit, saya mengalami yang namanya sebuah kekosongan. Hampa.
Saya punya temmen banyak tapi terasa nggak punya temmen. Di saat kekosongan
itulah saya merasa ada yang kurang, ada sesuatu yang hilang,” ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Adrian mulai
merasakan perasaan yang tak biasa. Dia mulai merefleksikan kembali semua perbuatan-perbuatannya
kepada orang-orang yang dia lukai dan sakiti. Dari dalam relung hatinya sedang
kosong, dia hanya bisa berseru-seru memanggil Tuhan dan mulai mempertanyakan soal kondisinya.
“Di situ
saya ngerasa, Tuhan sayang ama hidup saya. Di situ saya mutusin buat “Saya mau berubah Tuhan. Tolong Tuhan pimpin dalam kehidupan saya”” lanjutnya.
Dengan hati
yang hancur dan penuh penyesalan, Adrian kembali ke rumah. Meminta maaf kepada mama
dan papanya. Dia mengaku begitu menyesali semua tindakan dan perbuatannya yang salah.
“Saya
merasa iba. Mukanya kelihatan kusut. Bajunya bau yang nggak enak. Dengan peristiwa
Adrian saya merubah hidup saya lebih banyak mengasihi anak saya. Lebih memperhatikan (dia),” ucap mama Adrian.
Adrian akhirnya
bertobat. Dia rindu hidupnya diubahkan. Dia harus melewati beragam proses untuk
melewatinya. Ada kalanya dia harus jatuh dan bangun. Tapi Adrian tetap tak mau menyerah untuk terus berpegang Tuhan.
“Akhirnya
saya menemukan kekuatan dari kebenaran firman Tuhan yaitu dari Filipi 3: 7-9. Supaya
saya bisa melepas segala keterikatan saya itu menjadi sebuah kejijikan. Jadi
akhirnya satu titik, saya jijik dengan perbuatan saya. Saya belajar gimana ditampar
pipi kiri kasih pipi kanan. Saya belajar gimana bisa mengasihi orang. Itu semua proses,” terangnya.
Pelan-pelan,
Adrian pun berhasil melewati proses panjang itu. Setelah merasa sudah pulih total,
dia pun berubah menjadi pribadi yang mengasihi Tuhan. Bukan cuma itu, Adrian rindu
untuk membahagiakan kembali kedua orangtuanya dengan menuntaskan pendidikannya. Melanjutkan kembali pendidikan SMA dan kuliah.
Setelah
mendapat dukungan penuh dari kedua orangtuanya, Adrian pun dengan serius menimba
ilmu di negeri Taiwan. Dia menyelesaikan sekolah di sana dan membuat orangtuanya bangga.
“Saya
pengen tunjukin kalau saya bisa. Setelah saya selesaikan sekolah di sana, saya
pulang ke Indonesia dengan membawa ijazah saya. Saya bisa tunjukin ke orangtua
saya, ke keluarga saya, lingkungan saya kalau ternyata pertolongan Tuhan itu sanggup mengubahkan kehidupan saya,” tandasnya.
Kini,
Adrian menjalani hidupnya dengan cara yang benar. Pemberontakan yang dulu dilakukannya
disadari berasal dari pola pikir yang salah. Saat ini, dia sudah berubah dan sudah mengadopsi pola pikir yang benar.
“Saya
bersyukur bagaimana Tuhan telah mengubahkan sudut pandang, cara berpikir saya
dari yang dulu kalau segala aturan itu telah mengekang kehidupan saya, tapi ternyata
aturan itu oleh karena kasih yang begitu mendalam terhadap anaknya sehingga mereka
membuat aturan-aturan agar anaknya tidak terjerumus di dalam dunia yang tidak
baik. Dan saya merasakan kasih orangtua itu begitu mendalam seperti Tuhan
mengasihi saya,” ucapnya.
Apakah kamu
pernah punya pemikiran yang sama dengan Adrian. Atau kamu saat ini sedang mengalami
hal yang sama; kehilangan perhatian dari orangtua, merasa hidupnya terkekang karena
beragam aturan atau merasa tertekan dalam hidup? Jangan pernah memilih jalan yang
salah. Datanglah kepada Tuhan dan minta supaya dia mengambil kendali atas hidupmu.