Keberanian sutradara
Stuart Hazeldine mengangkat film ‘The Shack’, adaptasi dari novel yang ditulis
William P. Young bukan tanpa risiko. Penggambaran sosok tri tunggal di dalam
novel ini memang terbilang bisa membingungkan banyak orang Kristen, terutama mereka dari kalangan konservatif.
Meski
begitu Hazeldine tampak santai menghadapi kontroversi yang dilayangkan publik kepadanya.
Dia mengakui bahwa membuat ‘The Shack’ menjadi film yang layak ditonton cukup
menguras waktu. Dia bahkan sudah begitu lama memikirkan bagaimana cara
menggambarkan sosok Tuhan di dalam sebuah tayangan visual. Hal itu terbilang rumit, karena Tuhan pada dasarnya tidak kasat mata.
Namun
dengan bantuan rekan seprofesinya, produser berpengalaman Hollywood Gil Netter,
yang juga dikenal telah sukses menggarap film Life of Pi dan The Blind Side,
Hazeldine pun merasa lega karena pandangan Gil Netter soal Kekristenan cukup membantunya.
“Para
pemain harus merasa saya benar-benar memahami materi naskah. Pemain menarik
kepercayaan dari sutradara. Ada juga sutradara lain yang tertarik dengan
filmnya, tapi aspek teologis dari cerita yang mereka tidak pahami justru lebih
penting, dan saya merasa tak perlu menunjukkan segala hal yang tidak saya pahami di dalam film,” ucapnya.
Jadi, untuk
mengurangi kontroversi yang ditimbulkan di dalam film tersebut, Hazeldine
mengaku berusaha untuk tidak memunculkan pemahaman teologis yang membingungkan
penontonnya. “Saya tidak mengatakan kami mencoba untuk ikut campur dengan
pemahaman itu. Tapi saya akan mengatakan bahwa kami hanya mencoba untuk fokus
dan memperjelas bagian-bagian tertentu. Ada banyak pemotongan dan penggabungan
yang terjadi ketika kamu mengadaptasikan sebuah buku, The Shack bisa jadi film
berdurasi 10 panjangnya. Jadi kami hanya fokus mengikuti perjalanan emosional Mack dan konfliknya dengan Papa (Allah Bapa, yang dimainkan oleh Octavia Spencer).
Hazeldine
juga tak menampik isu kontroversi lainnya yang muncul dalam The Shack seperti isu
rasisme yang banyak disorot. “Ada unsure rasisme yang secara langsung tampak di
dalam film. Dan kalau ada orang yang bermasalah dengan fakta bahwa Allah
digambarkan sebagai seorang wanita kulit hitam, saya tidak benar-benar punya
waktu untuk meresponi protes dangkal itu. Karena saat kamu membaca novelnya,
ada penjelasan yang masuk akal kenapa Tuhan mungkin tidak memilih untuk menampilkan dirinya sedemikian rupa,” ucapnya.
Dia
menjelaskan, inkarnasi yang dilakukan Yesus adalah bukti bahwa Tuhan jelas
ingin menunjukkan bahwa dirinya segambar dengan manusia. Dan jika kita berpikir
bahwa Tuhan itu adalah seorang pria kulit putih berjanggut, maka kita sedang
membuat masalah. Sementara masalah lain yang tak kalah membingungkan adalah
bagaimana dia harus menampilkan gambaran yang sesuai dengan kutipan di dalam
Alkitab yang seolah bertentangan. Sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama di
Yesaya 45: 7 yang sangat berbeda jauh dengan kutipan ayat di Perjanjian Baru
dalam 1 Yohanes 1: 5. Untuk tidak semakin membuat para penonton bingung, Hazeldine mengaku memilih untuk mengambil jalan aman.
“Saya tidak
takut kontroversi. Kontroversi adalah jalan untuk menyampaikan klarifikasi,
sebagaimana kesalahan seringnya bisa jadi jalan untuk menuju kesuksesan. Beberapa
orang takut berbuat salah, mereka ingin menunjukkan teologi yang murni tanpa
harus terlibat di dalamnya. Tapi bagaimana pun kita pasti akan menemukan
sedikit perbedaan teologis,” terangnya.
Seperti
diketahui, film yang dirilis resmi 3 Maret 2017 ini telah menjadi film box
office yang sukses. Kerja keras Stuart Hazeldine dan Gil Netter memang cukup
memuaskan.