Selama
hampir sepekan ini, kasus kerusuhan Tanjung Balai yang terjadi Jumat (29/7)
malam masih menjadi pembicaraan hangat. Seperti diketahui kerusuhan tersebut berawal
dari tindakan anarki sekelompok orang yang mengakibatkan kerusakan parah di sejumlah rumah ibadah umat Budha di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara. (Baca Artikel:
Kendati sempat
tersiar bahwa kerusuhan itu disebabkan oleh isu agama, namun Menteri Agama (Menag)
Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa hal itu tidak benar. Ia menyampaikan ada 4 hal penting yang patut diketahui masyarakat soal permasalahan tersebut, yaitu:
1. Kerusuhan Tanjung Balai tidak berkenaan dengan agama
Menag Lukman
menegaskan bahwa kerusuhan yang berujung pembakaran 10 rumah ibadah di Kota Kerang
itu bukan karena persoalan agama melainkan etnis. “Sejauh ini kami tidak melihat
pemicunya itu persoalan agama. Dan ini sudah pada persoalan etnis yang telah punya
bibit, yang seperti sesuatu api dalam sekam. Sehingga ketika dimunculkan pemicunya jadi meledak,” kata Lukman pada Senin (1/8) kemarin.
2. Kerusuhan terjadi karena minimnya toleransi beragama
Provokasi dari
sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab adalah awal dari meledaknya kerusuhan
Tanjung Balai. Dia menyampaikan bahwa ada pihak lain yang mungkin sengaja mengadu domba sehingga timbul konflik antar umat beragama, hal tersebut bisa terjadi karena minimnya pemahaman akan toleransi umat beragama.
“Minimnya kesadaran dalam bertoleransi antar umat beragama. Toleransi itu saling memahami dan menghormati pihak lain,” terang Menag Lukman.
3. Agama tidak mengajarkan untuk membakar rumah ibadah
Menag Lukman
juga mengingatkan bahwa agama manapun tidak pernah mengajarkan pengikutnya untuk
membakar rumah ibadah agama lain. Agama bahkan tidak bisa dijadikan alat pembenaran atas tindakan pengrusakan rumah ibadah seperti yang terjadi di Tanjung Balai.
“Pembakaran
rumah ibadah tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun, agama manapun tidak membenarkan
itu. Pembakaran tersebut lebih karena dorongan emosional, kemarahan, kegusaran, dan kegeraman pihak yang tidak bisa mengendalikan emosi,” tegasnya.
4. Mayoritas harusnya mengayomi minoritas
Kerusuhan Tanjung
Balai harusnya tidak terjadi jika setiap agama bisa saling mengayomi dan
menghormati satu sama lain. Menag Lukman bahkan mengingatkan agama mayoritaslah
yang seharusnya mengayomi yang minoritas. “Toleransi tidak hanya untuk memahami,
tapi juga untuk menghargai dan menghormati pihak lain, itulah semangatnya,”
ujarnya. Dia berharap semua pihak memahami makna perbedaan yang ada agar masalah
terkait SARA tidak lagi terjadi.
Terkait persoalan
penggunaan pengeras suara rumah ibadah tertentu yang menjadi awal pemicu kerusuhan,
sebenarnya sudah diatur sejak 1978 di Indonesia. Untuk itu akan dilakukan himbauan
kembali agar penggunaan pengeras suara tersebut sesuai dengan fungsinya secara
proporsional dan tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi yang lain.