Waspada! 5 Hal Ini Dapat Menarik Anda Menuju Perceraian...
Sumber: Crosswalk.com

Marriage / 11 June 2016

Kalangan Sendiri

Waspada! 5 Hal Ini Dapat Menarik Anda Menuju Perceraian...

Puji Astuti Official Writer
3758

"Happy Anniversary" seluruh anggota keluarga yang hadir saat itu berseru mengucapkan selamat untuk ulang tahun pernikahan kami yang ke 40. Sepanjang 40 tahun bahtera pernikahan kami, tidak setiap hari kondisinya tenang dan menyenangkan, beberapa tahun yang kami jalani melewati badai dan juga jalan terjal. Bahkan, banyak kali kami di ujung kehancuran rumah tangga dan akan bercerai. 

Tapi untuk singkatnya, saya akan menceritakan lima diantaranya. Kami menghadapinya dalam berbagai musim kehidupan pernikahan kami, dalam berbagai bentuk dan terjadi di saat kami tidak duga. 

1. Kita berharap pasangan kita memenuhi semua kebutuhan kita

Hal pertama terjadi sangat awal. Memakai gaun putih, saya melangkah menuju altar gereja. Melodi indah dilantunkan oleh piano sedangkan semua mata terarah kepada saya. Saya tiba di hadapan suami masa depan saya di altar lalu mengucapkan janji suci kami. Saya katakan, "Saya bersedia" kepada janji pernikahan yang sebelumnya sudah pernah saya dengar.  Tetapi dalam hati saya yang saat itu masih berusia 23 tahun, yang sebenarnya saya katakan adalah, "Saya bersedia... saya berharap pria ini membuat saya bahagia, menjaga saya, membuat saya utuh, mengisi kekosongan dalam hati saya. Saya berharap menjadi pusat kehidupan dia. Dan saya mengharapkan hidup saya lebih bahagia dari waktu saya masih sendiri. 

Yang tidak saya harapankan adalah ternyata dia juga membuat harapan yang serupa, saat itu dia punya harapannya sendiri bagi saya. Kebutuhan, keinginan dan harapan, dan yang membuat saya terkejut adalah dia menginginkan saya bisa memenuhi semua harapannya itu. 

Hasilnya di apertemen kami yang diwarnai denganmerah, coklat dan sofa oranye dan karpet lusuh sering dikunjungi oleh konflik. Episode saling menyalahkan dan bermusuhan diwarnai oleh kata-kata kasar yang dilontarkan oleh kami.

Hanya beberapa bulan setelah sahabat dan keluarga mengangkat gelas untuk kebahagiaan kami, kami menyadari bahwa tidak seorang pun dari kami yang bisa memberikan gambaran mirip dari kisah-kisah di buku cerita yang diakhiri dengan kalimat "bahagia selamanya."

Mengambil jalan kami masing-masing sepertinya malah menjadi solusi paling masuk akal saat itu. 

2. Kami gagal memprioritaskan keintiman seksual 

Pencobaan kedua datang ketika ulang tahun pernikahan kami ke tujuh mendekat. Pada waktu itu kami sudah dikaruniai tiga orang anak laki-laki di bawah usia lima tahun. Kehidupan kami berubah. Menjadi semakin sibuk dan kurang tidur karena beberapa anak kami. Meskipun mereka membawa sukacita yang tak terkatakan, mengasuh mereka menguras seluruh energi saya. 

Malam hari dilalui dengan sedikit waktu tidur. Siang hari semakin singkat dengan pekerjaan di rumah yang tidak ada habisnya. Dan hati saya merasa kosong. 

Hasil akhirnya, keintiman seksual menjadi prioritas terakhir. Suami saya tidak bisa mengerti hal ini

Mengapa dia tidak bisa mengerti pengorbanan saya untuk keluarga ini? Bagaimana bisa dia terus menuntut saya? Dia seharusnya bahagia saya bisa mengurus seluruh kebutuhan keluarga. Tetapi dia tidak bersyukur. Sebaliknya dia merasa sakit hati. 

3. Kami lupa untuk berkomunikasi

Langkah ketiga yang dapat memicu perceraian ketika komunikasi dari hati ke hati yang dulu biasanya dilakukan sewaktu pacaran menjadi terlupakan. Kesibukan kita menguras waktu dan energi kita yang seharusnya untuk membangun komunikasi. Kita bicara, tapi tidak berkomunikasi. Kita hanya saling memberi komentar atau bertukar infomasi. 

"Kapan pertandingan bola Joe; Apakah kamu sudah membayar tagihan..." dan seterusnya..

Suatu hari ketika suami saya pulang dari bekerja dan mengumumkan bahwa ada orang lain dalam hidupnya, saya tidak bisa percaya. Kemarahan, rasa pahit dan depresi menghiasi malam-malam saya. Dilain pihak, kebingungan dan rasa frustrasi memenuhi hatinya. 

4. Kami diracuni oleh kemarahan

Langkah ke empat yang membawa kami depan pintu perceraian adalah saat kesulitan keuangan menghampiri. Setelah bekerja di sebuah perusahaan kecil, usaa itu kemudian gulung tikar. Sebagai salah satu eksekutif perusahaan itu, suami saya bertanggung jawab secara pribadi atas hutang yang besar di perusaaan itu. Jumlahnya sangat besar sehingga kami tidak bisa membayarnya seumur hidup kami. Pihak berwajib menyita tabungan kami dan akun bank kami diambil alih.  Hutang dan bunga terus bertambah. Demikian juga rasa takut saya. Rasa takut itu memicu tindakan menyalahkan yang tidak rasional. Mengapa dia tidak bisa melihat ini akan datang? Mengapa dia bisa membiarkan hal ini kami alamai? Campuran antara kemaraan dan rasa takut itu menjadi racun yang membunuh pernikahan kami

5. Kami dipisahkan oleh tragedi

Episode ke lima yang membawa kami lebih dekat pada perceraian adalah sepuluh tahun kemudian, saat putra kami terbunuh di usia 19 tahun. Kami berdua hancur karena rasa duka. Rasa sakit hati menguasai kami. Dan keinginan untuk menjaga hubungan kami sudah tenggelam dalam danau kesedihan. Kami sering diberi tahu bahwa tragedi seringkali memperburuk kondisi pernikahan. Hal itu seringkali menimbulkan jarak yang tidak mungkin dipulihkan. Dan kami dapat melihat hasil akhirnya mulai mendekat. 

Hal itu hanya lima episode dalam hidup saya dan suami yang dapat membawa kami ke pengadilan perceraian. 

Masih mencintai

Lalu mengapa, setelah 40 tahun, kami masih saling mencintai lebih dari sebelumnya? Bagaimana kami bisa mengatasi berbagai pencobaan, langkah mundur dan rasa sakit itu? 

Jawabannya datang ketika saya berhenti. Saya berhenti mencari jalan keluar dari kekacauan kami. Dan sebaliknya, saya mulai mencari Tuhan terlebih dahulu seperti yang dituliskan dalam Matius 6:33 "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Dengan wajah yang saya benamkan di tangan, saya menangis dan menyerah kepada Tuhan. Kemudian saya jadikan Tuhan sebagai pusat segalanya. Saya jadikan Tuhan sebagai pondasi pernikahan kami. Dan saya membuat Dia sebagai Tuhan atas setiap aspek hubungan kami. 

Kemudian perubahan itu datang. Namun sebelum itu terjadi, hidup saya diubah terlebih dahulu. Doa dan firman menjadi prioritas utama saya. Saya mengajak suami melakukan hal yang sama. Transformasi kami pun dimulai. 

Pertama, saya mengakui kesalahan saya dan mengakui bahwa tidak seorangpun manusia, termasuk pasangan atau anggota keluarga yang bisa membuat saya bahagia, aman dan merasa utuh. Saya merengkuh kebenaran Tuhan ini, yaitu bahwa Dia dan hanya Dia yang dapat mengisi kekosongan hati saya yang terdalam. Dia berkata : Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. Yohanes 10:10b.

Ketika kehidupan menjadi begitu berat dan beban tidak bisa saya tanggung lagi. Yesus berbisik pada saya untuk datang kepada-Nya. Untuk menerima tawaran-Nya. Dan ketika kelelahan berbaring disamping saya, Yesus berkata: "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Matius 11:28.

Tuhan tersenyum pada kami ketika kami mentaati-Nya dalam hal perpuluhan. Bahkan ketika kami menghadapi hutang yang besar - kami tetap beriman dan percaya kepada-Nya. Bahkan ketika dana mulai menipis, kami tetap memberi perpuluhan. Saat itulah janji-Nya untuk memenuhi keranjang-keranjang kami hingga berkelebihan digenapi (Maleaki 3:10).

Ketika perselingkuhan menodai pernikahan kami, pengampunan menjadi pilihan untuk menghapus kemarahan, sakit hati dan kepahitan. Suami saya belajar bahwa cinta "tidak mencari keuntungan diri sendiri" (1 Korintus 13:5a). Dan saya belajar bahwa "cinta tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5b). 

Dan ketika kehancuran karena kematian anak kami mengancam kedamaian dan sukacita kami, Tuhan berjanji melalui Mazmur 34:18 yang menguatkan kami: "TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya."

Kesalahan yang kami buat, pengharapan yang tidak realistis, pencobaan dan juga sikap egois "saya dulu" semuanya terjadi karena ada tujuannya. Semua itu membuktikan bahwa kami membutuhkan Yesus. Setiap episode menunjukkan bahwa ketika kami mengundang Tuhan dalam pernikahan kami, harapan lahir. Kehadiran-Nya membawa rasa aman, pandangan yang jelas dan hikmat. Dia dan hanya Dia yang bisa menganugerahkan pengampunan. Dan ketika Dia menjadi pusat kehidupan kami, Dia mengubah kegelapan menjadi terang. Dia memulihkan luka. Dia membalut sakit hati dan dengan cara yang manis dan mulia, Dia memberikan kembali sukacita. 

Disadur dari tulisan Janet Perez Eckles, pembicara inpirasional dan penulis empat buku, termasuk "Simply Salsa: Dancing Without Fear at God's Fiesta, dimana dia telah membantu ribuan orang berjalan melewati lembah kekelaman menuju kemenangan dan hidup yang penuh sukacita. 


Sumber : Crosswalk.com | Jawaban.com | Puji Astuti
Halaman :
1

Ikuti Kami