Ketika Hidup Kita Dikuasai Hawa Nafsu Esau

Kata Alkitab / 3 November 2013

Kalangan Sendiri

Ketika Hidup Kita Dikuasai Hawa Nafsu Esau

Yenny Kartika Official Writer
24890

Hawa nafsu atau keinginan daging terletak di dalam diri kita. Jika kita ingin menghabisinya, berarti kita harus “membunuh saudara kita sendiri”. Tentu itu tidak mungkin dilakukan, bukan? Yang harus kita perbuat adalah menguasai dan mengendalikan hawa nafsu tersebut. Jika hawa nafsu itu lebih kuat, maka kita akan dikendalikan olehnya, begitu juga sebaliknya. Hawa nafsu itu sangat dekat dengan pribadi kita, seperti diumpamakan oleh Yakub dan Esau. Mereka berdua adalah saudara kandung, namun pertikaian antara mereka sudah dimulai bahkan sejak di dalam kandungan; mereka sudah bertolak-tolakan (saling mendorong, tidak akur).

Sekarang kita perhatikan lebih dalam mengenai hawa nafsu yang digambarkan dalam pribadi Esau. Esau disebut sebagai pribadi yang peuh hawa nafsu, yang menukarkan hak kesulungannya dengan semangkuk sup kacang merah. Pertanyaannya, apakah manusia tidak boleh memiliki hawa nafsu, misalnya nafsu makan? Tentu saja boleh. Jika memang demikian, mengapa Esau dipandang telah melakukan sesuatu yang salah? Jawabannya, sebab untuk mencapai keinginannya itu, Esau melakukannya dengan cara yang salah.

Sebetulnya Tuhan memang memberikan “keinginan” (desire) di dalam diri manusia. Namun, jika untuk mencapai keinginan itu manusia melakukan dengan cara yang salah, maka hal itu sudah termasuk ke dalam area hawa nafsu. Keinginan Esau untuk makan sama sekali tidak salah, tetapi yang menjadi kesalahan fatal adalah, untuk mencapai keinginan itu ia menjual hak kesulungannya. Inilah yang disebut sebagai tindakan yang dikuasai oleh keinginan daging atau hawa nafsu.

Apakah salah jika seseorang ingin mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi? Tentu tidak. Tetapi tidak dapat dibenarkan jika untuk mencapai jenjang pendidikan yang tinggi tersebut kita melakukan cara yang salah (seperti mengorbankan Tuhan) dan merugikan orang lain.

Demikian pula, memiliki anak merupakan hal yang tidak melanggar Firman. Bahkan ALLAH sudah berfirman, “Beranakcuculah dan bertambah banyak,” ([kitab]kejad1:28[/kitab]). Tetapi jika cara dan waktu untuk memiliki anak itu salah, misalnya belum menikah sudah memiliki anak, maka perbuatan tersebut merupakan hawa nafsu. Atau sudah menikah, namun wanita yang dinikahinya lebih dari seorang, maka hal itu pun suatu tindakan yang salah.

Contoh lain dalam Alkitab yang menggambarkan tindakan dari hawa nafsu daging adalah ketika Sarai memberikan Hagar kepada Abram, agar dapat memberikan keturunan baginya. Padahal TUHAN telah berjanji untuk memberikan keturunan kepada Abram dan Sarai pada waktu yang telah ditetapkan-NYA. Tetapi Sarai tidak sabar menunggu janji TUHAN, ia lebih memilih mengikuti hawa nafsunya. ([kitab]kejad16[/kitab])

 

Apa yang harus kita perbuat agar kita tidak menjadi orang yang dikalahkan oleh hawa nafsu?

Pertama, memiliki disiplin diri.

Untuk menghadapi peperangan melawan hawa nafsu harus diawali dengan jalan mendisiplin diri. Contoh: ada orang yang ingin lepas dari kecanduan rokok, kemudian ia datang kepada hamba Tuhan untuk didoakan. Tetapi orang itu sendiri masih tetap menyalakan rokoknya, tidak memiliki disiplin diri. Maka doa dari hamba Tuhan tersebut tidak akan berguna apa-apa.

 

Kedua, memiliki disiplin iman.

Orang yang memiliki pola hidup sehat, belum tentu memiliki pikiran dan rohani yang sehat. Dalam Keluaran 17:9 disebutkan, “Musa berkata kepada Yosua: “Pilihlah orang-orang bagi kita, lalu keluarlah berperang melawan orang Amalek, besok aku akan berdiri di puncak bukit itu dengan memegang tongkat ALLAH di tanganku.”

Dalam ayat di atas Musa menyuruh Yosua untuk memilih orang-orang untuk berperang melawan orang Amalek. Peperangan yang dihadapi Yosua dan orang-orang yang telah dipilih itu berada di bagian bawah. Sementara Musa, yang memegang tongkat Tuhan di puncak bukit, sedang berperang di bagian atas. Jadi, untuk mengalahkan hawa nafsu daging, diperlukan peperangan yang harus dilakukan tidak hanya "di bawah" saja, tetapi juga "di atas" atau "di puncak bukit" (iman).

Dengan kata lain harus ada keseimbangan antara disiplin diri dan disiplin iman. Seandainya Musa di puncak bukit memegang tongkat Tuhan, tetapi Yosua yang ada di bawah tidak maju berperang maka sudah dipastikan peperangan melawan orang Amalek itu tidak akan dapat dilakukan. Atau sebaliknya, jika di bagian bawah Yosua maju berperang tetapi Musa tidak naik ke puncak bukit untuk mengangkat tongkat Tuhan maka peperangan itu pun tidak akan dapat dimenangkan oleh Yosua. Jadi sudah sangat jelas di sini bahwa antara disiplin diri dan disiplin iman harus ada keseimbangan.

Mengapa orang dunia tidak pernah menang dalam menghadapi hawa nafsunya? Sebab hidup mereka tidak disertai iman kepada Tuhan. Mungkin secara sekilas mereka terlihat mampu mengatasi atau mengalahkan hawa nafsunya. Namun, di sisi lain masih ada hawa nafsu lain yang masih menguasainya. Berbeda dengan kita yang menghadapi peperangan hawa nafsu bukan hanya dengan disiplin diri saja, tetapi juga disertai dengan disiplin iman.

 

Disiplin diri yang disertai dengan salib Yesus, dengan Firman, membuat kita menang mengatasi hawa nafsu. Firman membuat kita mengerti tentang mana yang benar dan mana yang tidak benar.


Sumber: Pdt. Handoyo Santoso, D. Min, disadur oleh Ev. Hardi Suryadi

Sumber : Pdt. Handoyo Santoso, D. Min, disadur oleh Ev. Hardi Suryadi
Halaman :
1

Ikuti Kami