Kisah Nyata Anak yang Kehilangan Kasih Sayang Ayah

Family / 11 June 2013

Kalangan Sendiri

Kisah Nyata Anak yang Kehilangan Kasih Sayang Ayah

Yenny Kartika Official Writer
26449

Aku dibesarkan dalam lingkungan militer. Papaku adalah seorang Angkatan Udara. Masa kecilku begitu bahagia. Namun saat Papa pensiun, kehidupan ini berubah drastis.

Semenjak Papa pensiun, Papa mulai berubah. Dia menyediakan satu kamar khusus yang isinya adalah sesajen dan kemenyan, dan tiap malam dia melakukan ritual di situ. Selain itu, temperamen Papa juga jadi suka marah-marah.

Suatu kali waktu masih kecil, aku dan adikku, Yongki pernah terlambat pulang ke rumah. Papa marah besar. Diambilnya linggis dan dipukulnya kami satu-persatu. Hukuman keras semacam itu semakin lama semakin sering kami terima. Kalau dipukulin, ya saya hanya bisa menangis. Dalam hati, saya juga sedih, mengapa Papa bisa berubah jadi seperti itu.

Saya tumbuh besar. Semakin lama saya merasa kehidupan di rumah itu sudah tidak nyaman lagi—yang ada cuma siksaan dan amarah. Akhirnya saya banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Saya ingin bebas.

Uang iuran sekolah yang seharusnya dibayarkan tiap bulan, saya ambil. Tujuannya, ya supaya saya punya uang pegangan untuk memenuhi kesenangan pribadi saya. Kerjaan saya dan teman-teman adalah mabuk bareng-bareng. Kalau ada orang yang membuat saya kesal, saya tak ragu-ragu untuk mengajaknya berkelahi. Begitulah keonaran yang saya lakukan karena saya dendam sekali terhadap Papa, tapi tidak bisa dilampiaskan kepadanya. Di lingkungan sekarang, tidak ada lagi yang menindas saya; yang ada adalah saya menindas orang lain.

 

*****

Karena kebiasaan saya “menyelundupkan” uang iuran sekolah untuk kesenangan pribadi, pihak sekolah suatu kali menelepon Papa.

“Kenapa bisa? Saya setiap bulan selalu menyetorkan uang sekolah itu, kok,” kata Papa kepada pihak sekolah.

Saat itu saya masih di sekolah, dan sudah terbayang di kepala saya akan kemarahan Papa.

Sesampainya di rumah, terjadilah apa yang saya takutkan. Papa sangat murka! Dia ambil tongkat dan siap memukul saya. Tapi saya lari keluar rumah, sampai ke jalan raya. Papa tidak sanggup mengejar saya, karena saya lebih muda dan tenaga saya jauh lebih kuat.

Mulai dari peristiwa itulah, saya merasa tidak layak lagi untuk tinggal di rumah itu. Saya bertekad untuk pergi dari rumah.

Saya mulai menapaki hidup di pinggir jalan. Tentu saja, itu sangat tidak aman. Buktinya, suatu kali sekelompok orang menarik dan membawa saya ke tempat gelap. Hampir saja saya ditusuk oleh mereka, tapi untungnya tidak. Mereka pergi setelah mengambil semua uang saya. Semuanya!

Ludesnya uang mengakibatkan saya kelaparan. Saya luntang-lantung tidak karuan. Selama satu hari saya tidak bisa makan. Suatu kali, saya menemukan seseorang yang sedang makan, namun makanannya itu tidak habis dan dibuangnya ke tempat sampah. Saking gak kuatnya, tanpa ragu saya ambil makanan dari tong sampah itu, dan saya makan.

Di lain kesempatan, seekor kucing sedang menikmati santapannya di tengah tumpukan sampah. Lagi-lagi karena kelaparan, saya rebutan makanan dengan kucing tersebut. Seharusnya makanan itu untuk binatang, tetapi saya makan juga. Barangkali saya memang lebih rendah dari binatang.

Saya meratapi nasib dan merenung, “Alangkah berbedanya kondisi saya di sini dengan di rumah!” Di rumah saya tersedia makanan yang enak dan sehat, dan saya bisa menikmatinya. Aduh, sungguh miris!

Di manakah Tuhan?

Waktu saya dipukul oleh Papa, di manakah Tuhan?

Ketika saya hidup di jalanan dan tidak bisa makan, di manakah Tuhan?

Saya tidak merasakan adanya Tuhan! Yang saya rasakan adalah, saya hanya seorang diri.

 

*****

Untuk bertahan hidup, saya mencoba mencari pekerjaan. Saya melihat ada beberapa anak muda yang bekerja memberikan jasa angkut barang. Ya sudah, saya pun ikutan. Saya mengangkat belanjaan orang-orang di pasar.

Pada suatu hari, ada seorang ibu yang meminta saya mengangkat belanjaannya. Selesai mengangkat, dia bertanya, “Di mana Ayah kamu?” Saya jawab saja, bahwa Papa saya sudah meninggalkan saya. Dan dia bertanya lagi, “Mengapa kamu tidak mencari Papamu?”

Ya ampun, pertanyaan itu membuat saya teringat lagi akan masa lalu.

Akhirnya Ibu itu berkata, “Carilah Papa kamu. Pasti Papamu sayang sama kamu.”

“Tuhan itu ada,” lanjutnya. “Kamu cari, ya, Papa kamu. Tetapi jika kamu tidak bisa menemukannya, masih ada Tuhan yang sayang kamu…”

 

*****

Entah dorongan apa yang membuat saya memutuskan untuk pulang. Saya harus menempuh perjalanan pulang dengan jalan kaki karena tidak punya ongkos naik kendaraan. Sesampainya di rumah, saya benar-benar merasa aneh. Waktu Papa lihat saya, dia cuma diam saja. Papa tidak menanyakan saya dari mana dan bagaimana kabar saya. Di situlah rasa dendam kepada Papa muncul kembali. Tetapi saya mencoba menyimpan sendiri kekesalan itu.

 

*****

Tidak lama setelah saya pulang ke rumah, Papa meninggal dunia karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Di satu sisi ada rasa kesedihan, tapi di sisi lain saya merasa, “Akhirnya orang yang sudah menyakiti saya, pergi juga…”

Walau Papa sudah meninggal, namun rasa benci kepadanya masih tetap ada.

Suatu kali saya mengikuti pertemuan di sebuah komunitas. Di situ, saya mendengar sesuatu yang membuat saya resah. Pembimbing yang ada di komunitas itu menantang saya untuk memaafkan orang tua saya.

Kilasan masa lalu terbayang kembali. Apakah bisa saya mengampuni Papa yang telah memukul saya pakai linggis? Apakah bisa saya memaafkan Papa sewaktu saya terlunta-lunta di jalanan dan makan sampah? Bisakah saya memaafkan dia setelah saya tidur di emperan?

Bagi saya, didikan Papa itulah yang salah. Dia tidak pantas dimaafkan. Lagipula, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jadi, sudahlah, tidak perlu memaafkan orang yang sudah meninggal.

Kata-kata pembimbing rupanya belum usai. Dia melanjutkan, “Jika kamu tidak memaafkan orang lain, hidupmu di masa depan tidak bisa maju.”

Hmm. Baiklah. Saya mau memaafkan Papa.

 

*****

Saat saya mengambil keputusan untuk mengampuni Papa, rasa benci itu sirna. Dan, pikiran saya mulai terbuka bahwa Tuhan itu ada.

Tuhan itu sungguh ada pada saat saya tidur di emperan—Dia yang menjaga saya.

Tuhan itu ada saat orang-orang menodong dan mengambil uang saya—Dia yang melindungi saya dari ancaman kematian.

Tuhan itu sungguh ada saat saya makan makanan sisa—Dia yang menjaga saya dari kuman-kuman yang bisa membuat saya sakit.

Saya bersyukur kepada Tuhan atas semua yang sudah saya alami. Di saat saya membutuhkan kasih seorang papa, Yesus telah menjadi bapa bagi saya.

 

Sumber Kesaksian:

Jimmy Ronald Maspaitella

 

BACA JUGA:

Kisah Nyata Louisa, Wanita Bertubuh 74 cm

Kisah Nyata Wanita yang Dihantui Suara Kematian

Kisah Nyata Edy Sapto, Pembunuh Bayaran Sadis

Sumber : V130610164121
Halaman :
1

Ikuti Kami