Ketika Seks Tak Kunjung Menghadirkan Buah Hati

Marriage / 19 April 2011

Kalangan Sendiri

Ketika Seks Tak Kunjung Menghadirkan Buah Hati

Lestari99 Official Writer
6381

Kehidupan seks dari pasangan yang tidak subur terkadang seperti masalah semua orang. Paling tidak itu pegalaman kami.

Sonya dan saya telah menikah selama lima tahun dan belum memiliki anak, dan tanpa diundang lampu merah mulai bermunculan dari orang-orang usil yang kami temui di gereja.

“Tidak tahukah kamu kalau anak-anak itu hadiah dari Tuhan?” seorang pria bertanya.

Tentu saja kami tahu. Selama bertahun-tahun Sonya dan saya berdoa kepada Tuhan setiap hari untuk memberkati kami dengan seorang anak, kami sadar akan nilai itu.

“Sebaiknya kamu segera mulai!” komentar beberapa orang. Pernyataan ini akan membawa kami kepada percakapan mengenai bagaimana kami telah ‘mencoba’ dan bagaimana Sonya belum juga hamil. “Yah... paling tidak kalian bersenang-senang ketika mencobanya, bukan begitu?” merupakan sebuah komentar yang biasanya diucapkan dengan dibarengi kedipan.

Sedihnya, jutaan pasangan menderita kemandulan. Seringkali, kemandulan menjadi suatu hal yang mematikan bagi sebuah pernikahan, sebagaimana pasangan suami istri menghadapai kekecewaan selama bertahun-tahun dan menjadi saling menyalahkan satu sama lain. Tapi tidak harus menjadi seperti itu. Melalui pengenalan akan kedaulatan Tuhan dan menitikberatkan pada doa serta membangun pernikahan bukan membuat kehamilan sebagai prioritas nomor satu, kemandulan dapat membawa suami istri menjadi lebih dekat dan bukannya menghancurkan.

Kemandulan “Yang Tidak Ada Penjelasannya”

Pengalaman setiap pasangan mandul sangatlah unik, tetapi pengalaman kami terhitung unik bahkan di antara banyak pasangan lainnya yang juga bergumul dengan kemandulan. Tidak ada yang salah pada diri kami. Bertahun-tahun, tak terhitung berapa kali spesialis kesuburan memeriksa Sonya. Saya pun telah diminta untuk memberikan ‘sampel’ ke gelas kecil.

Setelah melewati itu semua, para dokter tetap tidak punya penjelasan mengenai mengapa kami tidak bisa memiliki anak. Kami masih muda. Sonya berovulasi dengan normal dan tidak memiliki kendala yang dapat menghalangi kehamilan, dan spermaku pun kualitas A. Tetap saja kami tidak bisa mengalami apa yang justru sering dialami oleh mereka dengan kehamilan ‘yang tidak diharapkan’ : mengandung. Dengan muka datar, para ahli medis mendiagnosa kondisi kami : “kemandulan yang tidak ada penjelasannya”. Jenius. Sekarang saya mengerti kenapa iman saya bukan termasuk aliran Kristen science.

Grafik ovulasi yang kami letakkan di meja samping tempat tidur menjadi bukti akan kondisi kami. Selama berbulan-bulan, Sonya menghitung hari, memprediksi siklus, memberikan isyarat pada saya untuk ke kamar pada saat tidak satupun dari kami ingin berada di sana. Kehidupan seks kami telah berubah dari hasrat yang spontan menjadi seks yang dingin sebagai usaha untuk mendapatkan anak, atau merasa putus asa karena kehilangan kesempatan untuk hamil.

Hanya membutuhkan beberapa bulan sebelum timbul konflik karena memaksakan diri untuk bercinta terjadi di pernikahan kami. Pola kami dalam ‘mencoba’ mirip dengan pasangan lain yang juga sedang memperjuangkan kehamilan. Sonya akan menghitung siklus ovulasinya, kemudian memerintahkan saya untuk bercinta sesering mungkin. Melakukan seks berulang-ulang adalah fantasi nomor satu saya pada saat berumur 16 tahun, tetapi saya telah menikmati seks spontan sebagai pria yang telah menikah, dan sekarang dia menyuruh saya untuk melakukannya lagi dan lagi dan lagi? Awalnya memang bergairah, tapi tidak untuk kelimapuluh kalinya.

Bila sebuah kesempatan saya lewatkan tanpa melakukan kewajiban saya sebagai pria, Sonya akan stress, saya frustasi dan kami akan bertengkar. Tentu saja saya ingin melakukan bagian saya supaya dia hamil, tapi rasanya salah jika mengorbankan kesehatan kehidupan percintaan kami demi bertaruh untuk seorang anak yang mungkin tidak akan pernah datang. Pada waktunya, kami menemukan bahwa kami berdua adalah akar dari masalah kami. Sonya memikul beban bahwa dia mengetahui kapan dia sedang ovulasi, dan saya memikul beban untuk melakukan seks.

Mengidolakan Kehamilan

Seks yang tidak spontan selama bertahun-tahun membawa kami di ambang perceraian. Hal tersebut merusak keintiman kami yang masih dalam proses pemulihan selama hampir 5 tahun.

Melalui Brian dan Stacey, kami belajar untuk tidak membahayakan pernikahan kami dengan terus melakukan ‘percobaan’ seperti yang kami lakukan selama ini. Kami harus menaruh pernikahan pada prioritas yang lebih tinggi daripada bayi kami, walau lebih mudah untuk mengatakannya daripada melakukannya.

Beberapa orang Kristen menekankan bahwa anak adalah hadiah dari Tuhan sehingga kita dengan mudahnya lupa bahwa anak-anak memang hadiah. Anak-anak bukanlah hak yang harus kita dapatkan, dan mereka bukanlah sesuatu yang manusia dapat ciptakan hanya dengan ‘mencoba’ untuk hamil. Saya kenal pasangan-pasangan yang sepertinya hanya dengan saling berpandangan dengan penuh nafsu, selalu membuat istrinya hamil. Namun bahkan kehamilan seperti ini adalah kuasa Tuhan.

Sementara Sonya dan saya bergumul dengan kemandulan, kami harus mengingatkan diri kami bahwa Tuhan lebih memerintahkan kami untuk mengkomitmenkan hubungan kami dan harapan kami akan keluarga kami terhadap kedaulatan kehendak-Nya.

“Jangan Minta, Jangan Bilang”

Sementara kami mengubah pendekatan kami dari sekedar berusaha untuk hamil menjadi melindungi dan menjaga kehidupan seks kami.

Sonya menetapkan kebijakan “jangan minta, jangan bilang”. Mungkin itu merupakan trik psikologis, tetapi Sonya yang tahu kapan dia berovulasi, tidak mau mengatakannya pada saya, dia hanya menjadi ‘manja’. Para pria tidak akan mengerti akan siklus yang dialaminya namun kemanjaan yang ditunjukkannya menjadikan hak ini tidak lagi sulit. Ketika Sonya mengajak saya ke kamar, saya tidak akan bertanya, tetapi saya hanya menikmati inisiatifnya saja. Dia tetap tidak hamil, tetapi kehidupan seks kami juga tidak menjadi rusak.

Sementara Tuhan melindungi Sonya dan saya dari konflik seksual berkepanjangan sehubungan dengan kemandulan, banyak pasangan lainnya yang berjuang lebih gigih.

Apa yang sedikit orang pelajari adalah kebutuhan untuk lebih fokus pada cinta itu sendiri, jauh dari kamar tidur, dan kurangi fokus pada bercinta.

Kemandulan tidak harus menghancurkan sebuah pernikahan. Dan sementara hal itu mempengaruhi kita, kemandulan tidak menghancurkan.

Kemandulan selama 6 tahun sangatlah sulit, tapi dengan anugerah Tuhan pernikahan kami bertumbuh dan berkembang dalam keintiman kami dengan-Nya.

Sumber : christianitytoday
Halaman :
1

Ikuti Kami