Penyamun Yang di Salibkan : Monolog Jumat Agung

Kata Alkitab / 18 April 2011

Kalangan Sendiri

Penyamun Yang di Salibkan : Monolog Jumat Agung

Puji Astuti Official Writer
6731

Aku tidak berasal dari sini. Benar-benar tidak. Sorga adalah tempat terakhir yang aku harapkan  bisa berada setelah semua yang aku lakukan. Ijinkan aku menceritakan kisahku.

Aku – dulu – adalah seorang perampok bersenjata, kurasa demikian kamu menyebutnya. Aku dan Jake dan juga yang lainnya tinggal di goa di perbukitan Yudea dekat jalan Yerusalem menuju Yerikho. Kami hidup dari kejahatan. Kami tidak menyerang orang yang pergi berkelompok dalam jumlah besar.  Mereka yang bepergian dalam kelompok akan aman. Tetapi jika pergi hanya satu keluarga, adalah sesuatu yang mudah, sama bodohnya dengan mereka yang melakukan perjalanan seorang diri.

Melakukan kekerasan adalah cara yang biasa kami lakukan. Mereka akan kami pukuli hingga mereka menyerah tanpa perlawanan. Tapi aku telah mematahkan beberapa tulang orang selama hidup, Tuhan mengampuniku.  Aku sebenarnya belum pernah benar-benar membunuh seseorang, tetapi aku juga tidak pernah tinggal cukup lama untuk memperhatikan korbanku tewas atau tidak.

Pertama kali aku bertemu Yesus adalah ketika aku di undang ke sebuah pesta untuk menghormatinya di Yerikho di rumah pemungut pajak yang kaya bernama Zakheus. Aku memperkenalkan diri, kami berjabat tangan, dan Yesus memandangku mata bertemu mata selama sesaat. Dia dapat melihat diriku dengan jelas, siapa aku sebenarnya, setiap kejahatan yang telah aku buat. Kemudian Dia tersenyum, sebuah senyum besar yang bersahabat. “Kamu tahu,” kata-Nya, “Ada pengampunan bagimu di dalam kerajaan-Ku. Bagaimana dengan itu?”

Aku memandang ke bawah, tidak mengatakan apapun, dan berbalik pergi. Hari berikutnya aku ada di antara kerumunan, mendengarkan setiap kata yang Dia katakana. Yesus berbicara tentang kerajaan-Nya, membandingkannya dengan biji sesawi, menyebutnya sebagai Kerajaan Sorga. Aku ingin sekali datang kepadanya dan berhenti dari semua yang telah ku perbuat lalu menerima pengampunannya, tetapi aku tidak bisa melakukannya.

Aku berharap bisa. Hal ini tidak terlalu lama sebelum aku dan temanku Jake – orang ketiga yang di salib – ditangkap oleh tentara patroli Romawi. Yang lain berhasil melarikan diri, tapi mereka menangkap kami dan memukuli kami lalu membawa kami ke Yerusalem dan melemparkan kami ke penjara. Tidak ada kasih karunia bagi orang seperti kami.

Lalu hal ini terjadi di hari yang sama Yesus di salibkan, mereka menyalibkan aku dan Jake – salah satu dari kami di kiri dan kanan-Nya. Ini bukanlah penyaliban sebagaimana biasanya. Banyak orang yang datang di sana karena Yesus. Orang Farisi yang sombong  mengolok-olok Dia. “Jika Engkau Mesias, “ salah satu menyeringai, “turunlah dari salib itu. Jika kamu penyelamat, selamatkanlah diri-Mu sendiri – jika kamu bisa!”

Jake juga ikut-ikutan mengejek juga, kamu bisa membayangkannya. Aku berteriak kepadanya, “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.”

Jake akhirnya diam dan orang-orang Farisi sudah tidak tertarik lagi. Tetapi aku tidak bisa menghilangkan kejadian di Yerikho itu dari pikiranku. Aku tidak bisa melupakan pandangan mata Yesus, kata-kata-Nya, dan juga undangan-Nya. Jadi aku memanggil-Nya, sekalipun sangat sulit untuk bernafas dan berbicara membuatku merasa sangat tersiksa.

“Yesus!” kataku. Dia memalingkan wajah-Nya kepadaku. “Yesus, aku pernah di Yerikho. Aku bertemu dengan-Mu di pesta di rumah Zakheus. Ingat?”

Dia melihatku sesaat lalu menganggukkan kepalanya pelan. Dia ingat.

“aku tidak pernah lupa apa yang Engkau katakan. Aku ingin berkata ‘ya’, tapi aku tidak bisa. Dan kini lihatlah padaku – lihatlah dimana kita sekarang.”

Dia dalam kondisi yang sangat buruk – kelelahan, menahan sakit luar biasa, dan juga susah bernafas. Dia tidak akan bisa bertahan lama. Aku bisa melihatnya. Tapi entah aku bisa melihat jauh dari semua itu. Dia adalah Mesias, Dialah Mesias, tidak peduli apa yang para imam dan orang Roma dan juga orang Farisi lakukan kepada-Nya. Dan ketika Dia mati, Dia akan bersama dengan Tuhan. Dalam beberapa jam lagi, mungkin kurang, hal itu akan terbukti. Dia akan memerintah dalam kerajaan yang pernah Ia ceritakan.

“Yesus,” aku memanggil-Nya lagi, lebih pelan sekarang.

Dia membuka mata-Nya. Mata yang sama, tatapan yang sama, penuh kasih, dan mata yang tulus.

“Yesus,” kataku, “ketika kamu masuk dalam kerajaan-Mu, maukah Engkau mengingat aku?”

Ia bekerja keras untuk menjawab, bibir-Nya kering, tapi aku bisa mendengar-Nya dengan jelas. “Aku berkata kepadamu,” suaranya mengeras, lalu menguat sesaat, “sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”

Mata-Nya meredup. Kondisi-Nya menurun dengan cepat. Tetapi aku percaya kepada-Nya. Sungguh! Itulah yang membuat aku bisa melalui beberapa jam selanjutnya hingga mereka mematahkan kakiku untuk membunuhku. Aku percaya kepada-Nya!

Dan kemudian aku menemukan diriku di sorga, di Firdaus. Aku tahu bahwa aku tidak layak berada disini, tapi bagaimanapun juga aku telah disini. Aku pikir itulah bagaimana seorang pria seperti aku dapatkan ketika Sang Raja sendiri menganugrahkan pengampunan.  Pengampunan penuh. Sangat luar biasa, bukankah begitu?

Sumber : Dr. Ralph F. Wilson/Joyfullheart.com
Halaman :
1

Ikuti Kami