Sandy Suardi : Hidup Dalam Kebencian Kepada Ayah

Family / 13 April 2011

Kalangan Sendiri

Sandy Suardi : Hidup Dalam Kebencian Kepada Ayah

Lois Official Writer
8712

Pada masa mudanya, kehidupan Sandy Suardi dengan teman-temannya banyak dihabiskan di terminal. Dia terlibat dalam narkoba, terlibat perjudian, dan juga menjual narkoba. Sandy merasakan kebebasan yang keluar dari dalam hatinya selama bergaul dengan teman-teman di jalan.

Terbuai dengan kehidupan yang ditawarkan oleh dunia, Sandy semakin liar. “Saya berjalan bersama dengan teman-teman. Di sanalah saya merasa seperti orang yang merdeka pada waktu itu. Di jalanlah kami berkelahi karena kami sempat bertemu dengan musuh, geng jalanan lain. Kondisi saya waktu itu dalam kondisi mabuk berat. Saya pukul dia seolah seperti saya pukul papa saya.”

Tentu saja ada alasannya kenapa dia ingin memukul papanya dan membayangkannya ketika memukul musuhnya. Pada waktu kecil, Sandy kalau pulang sekolah, buka pakaian dan langsung mandi di sungai. Waktu papanya tahu, dia langsung dilempari batu. Ketika dia keluar dari sungai dan ke tempat papanya, dia dipukul dengan ikat pinggang sampai tubuhnya memar dan sampai dia kesakitan.

“Waktu Sandy mandi di kali, saya sangat marah sekali.” ucap ayah Sandy dalam kesaksiannya. “Tujuan saya memukul dia, karena saya ingin mendisiplinkan dia.” lanjutnya kemudian. Perlakuan sang ayah membuat luka yang dalam di hati Sandy, ditambah lagi kejadian tragis yang terjadi di depan matanya.

Suatu kali, sang papa marah kepada mamanya karena pisang yang dibelinya tidak karuan rasanya. Mereka sering berkelahi gara-gara hal kecil, mulai dari bertengkar mulut, saling mencaci maki, sampai kekerasan yang dilakukan oleh papanya. Hal-hal seperti itu sering dilihat oleh Sandy.

“Saya peluk mama saya, saya juga bilang, ‘Papa jangan, papa jangan pukul mama’. Dari situlah muncul benih-benih kebencian di hati saya. Saya sempet berpikir, kalau saya besar, saya akan lawan papa saya, bila perlu saya bunuh papa saya. Karena saking bencinya kepada papa saya waktu itu.” itulah yang dirasakan Sandy saat menyaksikan pertengkaran orangtuanya.

Jadi, ketika Sandy memukul musuhnya, dia seperti melampiaskan semua kekecewaan yang dia alami kepada musuhnya tersebut. Dia pukul, dia injak-injak, sampai musuhnya minta ampun pun tidak membuat Sandy berhenti memukulinya. Bukan hanya itu, Sandy mencari jati dirinya dengan cara yang salah, ditambah lagi kepahitan terhadap ayahnya, Sandy mabuk-mabukan. Dia semakin hari semakin terjerat oleh kehidupannya yang sia-sia.

“Saya berusaha merusak diri saya, supaya papa lihat diri saya itu, dia menangis lihat saya. Supaya papa itu kecewa. Saya berusaha membalas kepahitan saya dengan sikap saya. Pada waktu saya sedang minum, sepertinya masalah itu hilang begitu saja. Tapi begitu saya pulang ke rumah, melihat kondisi keluarga saya, melihat papa saya, saya merasakan kembali merasakan kekecewaan.”

Jiwanya diselimuti rasa sakit hati dan dendam terhadap sang ayah. Perbuatan nekat pun siap dia lakukan. “Karena kehidupan yang penuh dengan tekanan, kebencian kepada papa disertai dengan kekecewaan dan kemarahan, membuat saya mengambil keputusan untuk bunuh diri. Saking marah dan jengkelnya, saya menabrakkan diri ke kendaraan. Saya saat itu ada di tengah jalan. Saya pikir “Ya sudahlah saya mati saat ini juga nggak apa-apa’.”

Namun, rupanya Tuhan berkehendak lain. Saat Sandy pasrah terhadap aksi bunuh dirinya tersebut, ternyata mobil yang hendak ia tabrak dapat berhenti tepat pada waktunya. “Justru kendaraan itu berhenti, dan marah-marah kepada saya.” kisah Sandy kemudian.

Lolos dari maut, Sandy tetap menyimpan rasa sakit terhadap sang ayah sampai ke pernikahannya. Setelah menikah, sang istri pun menjadi korban pelampiasannya. “Saya melihat ada hal-hal yang mengganjal dalam hati saya, saya masih suka marah-marah, emosi yang tinggi, sehingga istri saya melihat saya itu seperti papa saya.”

Tjandra Indralani, sang istri pun ikut berkisah, ”Kalau sudah marah, suami saya suka banting pintu, suka jedukin kepalanya ke tembok, begitu. Kadang-kadang remote TV dilempar begitu saja. Jadi kadang-kadang kita yang nggak tahu apa-apa, kok begini. Saya cuma berdoa, terus berpikir kenapa bisa begini, padahal dalam keluarga saya, saya tidak pernah diperlakukan begini.” Dan tentu saja, sang istri terus menjadi bulan-bulanan Sandy sampai suatu hari.

Sandy diajak temannya untuk mengikuti kegiatan yang dikhususkan untuk pria. Di sanalah dia mengalami pengalaman baru. “Ada pergolakan dalam hati saya, ketika saya sedang menonton suatu tayangan tentang bagaimana seorang ayah mengasihi anaknya. Saya diingatkan bagaimana masa lalu saya. Bagaimana perlakuan papa kepada saya, bagaimana perlakuan papa kepada mama saya. Saya menangis saat itu juga. Saya diingatkan Tuhan bagaimana kehidupan saya yang dulu.”

Kemudian Sandy teringat suatu pengalaman hidupnya sebelum dia mengikuti kegiatan ini. Dia masih mabuk berat saat naik angkutan untuk pulang ke rumah. Dia meminta supir untuk berhenti di jalan dekat rumahnya, namun anehnya kenek dan supir angkutan itu malah menurunkan dia di tempat ibadah.

“Ketika tiba di tempat ibadah, saya mendengar sebuah nyanyian yang sangat indah.” Dengan rasa penasaran dalam hatinya, Sandi kemudian masuk ke tempat ibadah tersebut. “Ternyata ada beberapa orang yang sedang berkumpul, mereka sedang berdoa. Ketika itu, saya melihat sebuah cahaya yang sangat terang, begitu kuat sinarnya. Dan di balik cahaya itu saya mendengar sesuatu.”

“Sandy, Aku mengasihimu. Sandy, Aku mengasihimu…” kata suara itu.

“Saat itulah saya langsung menangis terisak-isak. Di situlah apa yang saya alami selama ini, dengan beban yang begitu berat, terlepas oleh kata-kata itu. Saya mengambil keputusan untuk meninggalkan sifat-sifat saya yang lama, kebiasaan saya yang buruk.

Diingatkan peristiwa masa lalunya tersebut, membuat hatinya tersentuh. Saat itulah Sandy merasakan hal yang berbeda. “Saya melihat bagaimana Yesus yang begitu luar biasa mau melepaskan pengampunan, sekalipun saya begitu hina, saya begitu kotor. Tetapi Yesus mau menerima saya apa adanya. Saat itulah saya mengambil keputusan untuk saya bisa berubah, dengan cara melepaskan pengampunan kepada papa saya. Saya merasakan kehangatan yang luar biasa. Ada damai sejahtera yang saya rasakan ketika saya mengatakan, ‘Papa, saya mengampuni papa, sama seperti Tuhan Yesus mengampuni saya’.”

Sejak mengikuti kegiatan khusus pria tersebut, Sandy mulai berubah. “Selama itu, dia betul-betul berubah 100%. Dia tidak pernah marah-marah, bentak-bentak, dia yang dulunya tidak mau mengalah jadi mau mengalah gitu, jadi keluarga kita jadi harmonis kembali begitu.” kisah istrinya.

Hilang sudah luka yang disimpannya selama bertahun-tahun. “Ketika saya mengambil keputusan untuk menempatkan Yesus dalam hati saya, saya bisa menerima papa saya dalam kondisi apapun juga.

“Sekarang Sandy tidak benci lagi kepada saya, sekarang hubungan saya dengan Sandy sangat harmonis dan mesra sekali,” ungkap sang papa, Gouw Siang Bie. “Saya melihat Yesus sebagai bapak yang baik, tidak perlu banyak aturan, tidak perlu syarat ini dan itu, Dia mau menerima saya apa adanya. Setiap luka saya sudah disembuhkan oleh Tuhan Yesus.” kata Sandy mengakhiri kisahnya. (Kisah ini ditayangkan pada tanggal 13 April 2011 dalam acara Solusi Life di O'Channel).

Sumber Kesaksian :
Sandy Suardi
Sumber : V100825140103
Halaman :
1

Ikuti Kami