Kronologi Kekerasan Antar Umat Beragama Kepada Ahmadiyah

Nasional / 7 February 2011

Kalangan Sendiri

Kronologi Kekerasan Antar Umat Beragama Kepada Ahmadiyah

Lois Official Writer
2463

Pada hari Minggu, 6 Februari 2011 pukul 10 pagi, massa yang berjumlah 500 orang menyerang rumah tempat warga Ahmadiyah berkumpul di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang. Sebelumnya, Sabtu sekitar pukul 09.00 WIB, polisi dari Polres Pandeglang sudah menangkap Suparman, istri Suparman, dan Tatep (Ketua Pemuda Ahmadiyah). Polisi ingin meminta keterangan atas status imigrasi istri Suparman yang berkewarganegaraan Filipina.

Saat ketiga orang tersebut masih ditahan bahkan sampai sekarang, warga Ahmadiyah Cikeusik yang berjumlah 25 orang itu, yang termasuk orangtua dan anak-anak, diungsikan ke rumah keluarga Suparman. Mendengar hal ini, pemuda-pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang pergi menuju Cikeusik untuk mengamankan anggota jemaah Ahmadiyah yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak. Mereka tiba sekitar pukul 08.00 pagi di hari Minggu itu. Jumlahnya 18 orang. Saat itu ada enam petugas polisi dari Reserse Kriminal datang ke lokasi.

Pukul 9 pagi, datang satu mobil kijang polisi dan dua truk Dalmas. Mereka sarapan pagi bersama dan berdialog. Polisi minta mereka untuk segera meninggalkan lokasi. Namun, permintaan ini ditolak warga Ahmadiyah. Polisi lalu meninggalkan lokasi. Itulah terakhir kalinya warga Ahmadiyah dan polisi mengadakan dialog.

Keadaan semakin memanas saat datang ratusan orang ke lokasi dari arah utara pada pukul 10 pagi. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok. Saat massa tersebut mendekati halaman rumah Parman, seorang anggota jemaah Ahmadiyah yang bernama Deden Sujana yang tengah berjaga-jaga, berusaha menenangkan massa. Namun massa malah makin beringas. Terjadilah bentrokan itu. Gelombang massa kian besar datang dari belakang. Total jumlah penyerang sebanyak 1.500 orang. Akibat bentrokan itu, ada tiga warga Ahmadiyah yang tewas. Mereka bernama Roni (30) warga Jakarta Utara, Mulyadi (30) warga Cikeusik, dan Tarno (25) warga Cikeusik.

Semuanya ini terjadi karena ada anggapan bahwa Ahmadiyah merupakan salah satu aliran yang sesat dan harus dibasmi. Namun, jikapun memang sesat, apakah harus menggunakan cara kekerasan? Itukah akhir dari apa yang kita banggakan selama ini? Bahwa Indonesia yang dikenal sebagai negara persatuan dengan bermacam-macam budaya, ras, agama, suku bangsa harus tercerai berai?

Sumber : vivanews/lh3
Halaman :
1

Ikuti Kami