Presiden Tak Wajib Peringati Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya

Nasional / 30 September 2010

Kalangan Sendiri

Presiden Tak Wajib Peringati Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya

daniel.tanamal Official Writer
3506

Presiden RI tidak wajib mengikuti peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Lubang Buaya, Jakarta Timur, setiap tanggal 1 Oktober. Sebaiknya presiden menggelar peringatan tahunan itu di Istana Negara yang dibarengi dengan rekonsiliasi nasional atas peristiwa G30S. "Tidak ada dasar hukumnya presiden harus menghadiri peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, karenanya ia tidak wajib. Ini penting diingatkan, karena kita negara hukum," kata ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, Kamis (29/9/2010).

Asvi lantas mengungkapkan riwayat digelarnya upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya. Upacara tersebut diwajibkan pertama kali oleh Panglima Angkatan Darat (AD) Jenderal Soeharto melalui Surat Keputusan tanggal 14 Oktober 1966. Sebagai peserta adalah seluruh matra angkatan perang, yaitu AD, AL, dan AU.


Karena tidak diikutkan, Panglima Angkatan Kepolisian lantas mengirim surat kepada Soeharto. Akhirnya, pada tanggal 20 Oktober Soeharto selaku Menteri Utama Pertahanan meralat SK yang telah diterbitkan dengan memasukkan kepolisian sebagai aparat yang wajib mengikuti upacara 1 Oktober. "Jadi untuk presiden itu tidak wajib. Hanya saja, Soeharto yang memerintahkan upacara itu kemudian menjadi presiden. Ahirnya dia datang terus pada saat upacara," lanjut Asvi.


Asvi mengatakan, kehadiran presiden dalam di Lubang Buaya sangat menyulitkan, terutama pada saat Megawati Seokarnoputri memimpin. Bagi Megawati, menurut Asvi, peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu adalah hal yang menyakitkan, karena sejak terjadinya prahara pada 1965, kekuasaan Presiden Soekarno mulai dilucuti. "Itu bisa dilihat dari upacara yang dipersingkat pada zamannya Megawati. Dan inspektur upacaranya adalah ketua MPR, bukan Megawati sendiri selaku presiden," kata doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales, Paris, ini.


Karena itu, Asvi mengusulkan agar presiden memperingati hari bersejarah tersebut di Istana Negara sambil mengukuhkan agenda rekonsiliasi nasional atas peristiwa G30S. Sebab, korban jiwa dalam tragedi kemanusiaan 45 tahun silam itu bukan hanya 7 jenderal, yang kemudian diangkat menjadi pahlawan revolusi, melainkan ratusan ribu warga negara Indonesia. "Saya mengusulkan lebih baik di Istana saja, juga sebagai hari untuk rekonsiliasi nasional. Kalau mengadakan upacara di Lubang Buaya, biarlah khusus TNI saja. Sebab dasar hukumnya keputusan menteri utama pertahanan Soeharto," tutupnya.

Kegiatan rekonsiliasi konstruktif terhadap Tragedi Nasional yang melibatkan antar keluarga para korban ini lebih tepat diselenggarakan sehingga dapat membuat masyarakat lebih memahami dan juga mensyukuri apa yang harus dilakukan terhadap momentum ini, bukan mencari dan meributkan kembali tentang siapa yang melakukan dan bertanggungjawab.

Sumber : detik.com/dpt
Halaman :
1

Ikuti Kami