Presiden Akui Jakarta Tak Layak Lagi Jadi Ibukota

Nasional / 9 September 2010

Kalangan Sendiri

Presiden Akui Jakarta Tak Layak Lagi Jadi Ibukota

Lois Official Writer
2596

Sentralisasi aktivitas bisnis dan pemerintahan memunculkan berbagai persoalan yang membuat daya dukung Jakarta sebagai ibukota semakin lemah. Wacana pemindahan ibukota pun mencuat seirign semakin padatnya penduduk Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Istana Negara, Rabu (8/9) mengakui Jakarta sudah tidak layak dijadikan ibukota lagi sehingga perlu dipikirkan sejumlah opsi.

“Kalau kita jujur, objektif, jernih berpikir, memang Jakarta sebagai ibukota negara, sekaligus pusat perdagangan, tidak lagi ideal,” ujarnya. Pasalnya, rasio antara jumlah penduduk dengan lingkungan sudah tidak memadai. Idealnya area seluas satu hektar dihuni 100 orang. Namun faktanya, Jakarta sudah terlalu padat. Ditambah lagi masalah kemacetan karena tidak sebanding luas pengguna jalan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor. “Prasarana jalan di Jakarta rasionya dengan jumlah kendaraan juga sungguh tidak memadai,” ungkapnya.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana masalah ini akan diselesaikan oleh pemerintahan? Bila kemungkinan ada perpindahan ibukota negara, kira-kira propinsi atau kota manakah yang layak menjadi ibukota negara pengganti Jakarta?

Dalam menjawab persoalan ini, SBY bersama para pembantunya tengah memikirkan tiga opsi yang mungkin diambil. Satu, mempertahankan Jakarta sebagai ibukota dan kota pemerintahan. “Kalau itu yang kita pilih, maka kita harus atasi kemacetan dan bangun prasarana di atas tanah, banyak sekali yang harus kita lakukan. Tapi jumlah manusia lebih dari 10 juta, ini juga tidak mudah,” paparnya.

Pilihan kedua adalah membangun ibukota baru. “Ya, ibukota, kota pemerintahan dan sebagainya. Jadi Jakarta yang lain,” katanya. Jika opsi ini yang dipilih, maka harus direncanakan secara matang karena belum tentu pemindahan ibukota akan menyelesaikan segala persoalan. Selain itu, anggaran untuk opsi ini cukup besar. “Kita harus pastikan pusat pemerintahan yang baru itu di desain dengan baik,” ungkapnya.

Sementara opsi ketiga adalah seperti apa yang dilakukan Malaysia. Ibukota tetap di Kuala Lumpur, tapi aktivitas pemerintahan secara perlahan dialihkan ke Putrajaya yang lokasinya tak jauh dari ibukota. Proses pemindahan aktivitas pemerintahan dilakukan secara perlahan tapi pasti. “Dan kemudian pindah, perpisahan, dengan demikian tidak selalu mengganggu,” ujarnya.

Yang pasti, pembuatan pusat pemerintahan yang baru harus betul-betul didesain secara baik sehingga layak menjadi ibukota yang mencerminkan Indonesia. “Kalau itu terjadi, maka ekonomi lokal pasti bergerak,” ungkapnya.

Sumber : msn/lh3
Halaman :
1

Ikuti Kami