UU Penodaan Agama dan Nasib Minoritas

Internasional / 12 February 2010

Kalangan Sendiri

UU Penodaan Agama dan Nasib Minoritas

Puji Astuti Official Writer
5221

Permintaan pencabutan Undang-undang No.1 Tahun 1965 tentang penodaan agama hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan undang-undang ini karena dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.

Mereka yang mengajukan pembatalan ini ada tujuh lembaga swadaya masyarakat, yaitu Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan didukung oleh almarhum KH Abdulrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Raharjo dan KH Maman Imanul Haq.

Yang dipersoal disini ada pada Pasal 1 UU yang berbunyi, "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yangmenyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu."

Pelanggaran atas tuduhan penodaan agama ini bisa dikenakan ancaman pidana dengan hukuman selama-lamanya lima tahun penjara.

Beberapa tokoh agama menyatakan penolakan atas upaya pencabutan UU Penodaan Agama ini, salah satunya adalah Sekretaris Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu, Uung Sendana.

"Kami menolak pencabutan UU Penodaan Agama sebelum diterbitkan undang-undang baru yang menghargai hak-hak agama yang jumlah pemeluknya sedikit," demikian ungkap Uung.

Menurutnya tanpa UU yang mengatur penodaan agama, pihak yang paling menderita adalah kaum minoritas di negeri ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Agama Suryadharma Ali.

"Jika hal terkait penodaan agama tidak diatur, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik horizontal, memicu keresahan dan disintegrasi bangsa," demikian ungkap Suryadharma Ali.

Lain lagi pendapat Beny Susantyo, perwakilan dari Konferensi Wali Gereja Indonesia. Beny berpendapat bahwa undang-undang ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Apalagi undang-undang ini rentan disalahgunakan sebagai alat pembenaran atas penodaan agama.

"Digunakan untuk mendiskreditkan sekelompok agama," demikian ujar Benny.

Jelas sikap KWI bahwa mereka mendukung pencabutan UU Penodaan Agama tersebut.

Berpendapat senada, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menyatakan bahwa undang-undang tersebut perlu dikritisi dalam fungsi dan isinya.

Saat memberi keterangan pada persidangan di Mahkamah Konstitusi pada 4 Februari 2010 lalu, Pendeta Ener Sitompul selaku perwakilan PGI menyatakan bahwa dengan UU tersebut intervensi negara terhadap kepercayaan warganya sudah terlalu jauh.

"Dikhawatirkan terjadi intervensi negara terlalu jauh," demikian tegasnya.

Menurut Pendeta Ener, penodaan dan penyimpangan agama seharusnya bisa disikapi dengan pembinaan internal oleh agama masing-masing. Dan Pendeta Ener berpendapat bahwa hal ini sudah dilakukan oleh agama Kristen.

"Supaya mereka yang berbeda dapat kembali secara baik-baik kepada umat yang ditinggalkan," tambahnya.

Masalah agama dan keyakinan seseorang memang tidak bisa dipaksakan. Jika hari-hari ini sering terdengar adanya isu penistaan agama dan ada yang main hakim sendiri dalam upaya membubarkan suatu aliran kepercayaan tertentu maka hal itu tidak bisa dibiarkan saja. Saat ini, mana pilihan Anda? Setujukah dengan pencabutan UU Penodaan Agama ini atau tidak.

Sumber : Berbagai sumber
Halaman :
1

Ikuti Kami