Awalnya Hanya Iba Kemudian Menjadi Benar Cinta

Family / 14 December 2009

Kalangan Sendiri

Awalnya Hanya Iba Kemudian Menjadi Benar Cinta

Budhi Marpaung Official Writer
8557

Awal dari sebuah pertemuan rutin bersama dengan teman-temannya, membuat Yani dan Budi bersahabat karib hingga membuat yani merasa nyaman ketika dia bersama dengan Budi.

"Dia menjadi teman yang terbaik buat saya waktu itu. Saya curhat sama dia. Apa yang saya alami, saya ceritakan ke dia," ujar Yani membuka kesaksian.

Penghasilan Budi yang tidak seberapa membuat ia sering dipandang sebelah mata oleh teman-temannya, hal itu membuat Yani menaruh rasa iba kepada Budi.

"Mendengar dari ejekan teman-teman, jelas saya tidak terima. Kaus kasi yang bau, sepatu yang sobek, tetapi dia enjoy aja. Dia gak pernah membalas ejekan dari teman-teman, tetapi dia selalu membuat saya semakin menyukai dia," kenangnya.

Karena merasa iba dengan keadaan budi, bertepatan dengan hari ulang tahun Budi, Yani memberikan sebuah kado yang spesial.

"Saat itu juga ketika saya mendapat gaji dari saya bekerja, saya langsung membelikan dia baju. Itu terus terang karena saya merasa kasihan sama dia gitu. Saya belikan baju waktu dia berulang tahun sampai dia sangat bersyukur kepada Tuhan."

"Kebetulan saya pacaran sama dia bukan karena cinta, saya tuh merasa terus terang sangat-sangat kasihan kepada dia. Saya ingin membuktikan kepada orang lain bahwa Budi baik buat saya."

Hubungan Yani dan Budi semakin menjadi perbincangan teman-teman mereka, hal itu membuat Yani dipenuhi dengan kebencian.

"Pandangan mereka selalu penuh dengan hal-hal negatif. Budi ini ya gak cocoklah sama saya. Nah, disitu kebencian saya memuncak. Belum lagi temen-teman yang mengejek saya, "apakah kamu itu cocok sama budi? Budi kan orang-orangnya begini-begini. Padahal justru disitu saya buktikan. Saya melakukan lebih jauh dari apa yang mereka katakan."

"Saya keluar dari kota Solo dengan membawa yang namanya satu, kebencian," ujarnya.

Kebencian yang dibawa Yani ke Bali membawa mereka ke dalam hubungan yang lebih jauh dalam lumpur dosa.  

"Sebenarnya Budi juga takut untuk melakukan pertama kali hubungan intim. Tetapi, disamping itu juga rasa hawa nafsu yang menguasai hidup kami berdua membuat segalanya dilupakan."

Kenikmatan itu semakin mengikat mereka dalam kehidupan bersama tanpa ikatan pernikahan.

"Ya biasa hidup kita, seperti suami istri aja gitu. Saya merasa berdosa sama Tuhan. Saya katakan dalam hati saya, "kenapa saya membawa orang yang sangat polos ini. Dia itu gak ngerti apa-apa sebenarnya, tetapi saya yang menjerumuskan dia. Saya sempat berpikir begitu, tetapi Budi selalu bilang bahwa dia mengasihi saya, dia itu sangat sangat mencintai saya. Jadi kalau ada apa-apa sama saya, dia akan tetap bertanggung jawab kepada saya."

Ketakutan dan kekhawatiran yang sempat terlintas di benaknya akhirnya terjadi. Yani merasakan kejanggalan dalam tubuhnya. Bukannya senang, rencana aborsi pun dilakukannya. Namun, semua itu gagal.

Ketika Yani tidak dapat lagi menyembunyikan janin yang tumbuh dalam rahimnya, ia pun keluar dari tempatnya bekerja hingga mereka tak dapat lagi memenuhi kebutuhan di Bali. Akhirnya sebuah keputusan yang berat pun harus mereka ambil.

"Jadi saya berhenti dari pekerjaan saya. Budi pun demikian. Kita pulang ke Solo. Hati kecil saya katakan, "aduh takut banget, takut, takutnya luar biasa. Dia selalu bilang, "udah tenang aja kan ada aku. Kita sama-sama tanggung jawab di hadapan mereka. Jadi, apa pun yang mereka katakan nantinya, kita akan tetap terima,"

Perjalanan dari Bali ke Solo bagi Yani terasa amat berat. Dalam hatinya, ia mereka-reka apa yang akan ia hadapi di kampung halamannya.

"Tiba di Solo, waktu itu almarhum nenek saya sempat melihat saya juga kasihan, "Kenapa kamu bisa begini," Dia itu lembut sekali, dia itu baik sama saya. "Ya sudah kalau sudah terlanjur. Apa pun yang kamu lakukan, yah udah jalanin saja." Dan disitu, saya jadi bertobat di hadapan Tuhan. "Tuhan, sudah ada orang yang mau menerima saya nih, biarpun satu orang, nenek saya nih. Saya berterima kasih sama Tuhan."

Namun saat sang mama datang, reaksinya sangat berbeda dengan sang nenek. Kemarahan tampak dari wajahnya.

"Dia marah sekali sama saya. Dia katakan, "aku udah tahu kok, kamu hamil toh? Waktu saya mendengar mama saya berkata seperti itu ya. Saya tuh nangis di situ. Perasaan saya itu, "apakah sudah tidak ada cinta antara orang tua dengan anak. Itu yang saya ambil saat itu. Saya sempat nangis. Saya bilang, "Tuhan bener ya saya ini terbuang berarti saya sudah tidak diterima dalam keluarga mama saya."

"Saya bilang oke lah kalo begitu. Saya akhirnya keras juga. Saya bilang, "hah, aku sudah tidak dianggap anak sama mama pun juga gak papa. Toh semenjak kecil sampai aku besar hingga mengalami keadaan demikian juga dengan nenek.""

Amarah dan penolakan dari keluarganya membuat Yani semakin terluka, namun semua itu tergantikan dengan kebahagiaan ketika seorang bayi mungil hadir di tengah-tengah mereka.

"Aduh kok jadi aneh ya. Dia tuh teriak-teriak sendiri, dia tuh kaget atau sedih. Dia tuh lupa semua. Ternyata Tuhan itu kabulkan semua."

Kebahagiaan yang lain sepertinya sedang menanti Budi dan Yani. Di tahun 2001, perkawinan mereka diresmikan. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Budi divonis dokter menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

"Awalnya Budi tuh batuk terus menerus dan gak bisa berhenti dari pagi sampe malam hingga dia tidak bisa tidur. Saya bawa dia ke dokter umum, harus rontgen. Di paru-parunya sudah kena cairan dan dokter katakan, "ini mungkin ada gangguan di jantungnya," Saya pikir gak parah, tetapi keadaanya semakin menurun. Jadi, selera makan gak ada, tidur juga terlentang gak bisa. Pas duduk baru dia bisa tidur,"

"Bener-bener disitu saya bilang ke Tuhan, "Tuhan, tolong saya harus bagaimana. Saya bingung gitu karena bagaimanapun juga ini suami saya." Saya bingung. Saya melihat anak saya melihat ke papanya dan papanya dalam keadaan gitu juga masih merangkul dia. Ketika saya melihat berdua, aduh Tuhan rasanya sakit banget. Saya tuh rasanya, ‘Tuhan, bok aku aja, jangan dia yang sakit. Berikan sakit itu kepada saya, bukan dia. Saat itu juga saya bisa merasakan sakit."

Kesedihan yang mendalam dan keharuan di hati Yani semakin terasa ketika dia melihat Budi tegar menghadapi sakitnya.

"Suatu malam, Budi itu di Sofa. Keadaan sakit dia. Dia nyanyi suatu lagu, "Smua baik, Smua baik, apa yang tlah Kau perbuat di dalam hidupku." Ketika saya mendengar itu, nangis juga saya. Kok bisa dia ngomong gitu padahal dia dalam keadaan sakit. Akhirnya, saya samperin dia. Saya dekatin dia. Saya peluk dia, Karena badannya agak membungkuk, saya rangkul dia. Saya katakan, "Ko, kenapa begini?" dia nangis, saya juga ikut nangis ya. Kita sama-sama nangis, dia katakan begini, "Sebenarnya tugas di dunia tuh belum selesai. Aku sudah punya keluarga. Apa yang aku rindukan selama ini sudah tercapai. Tetapi, Tuhan berikan fisik aku seperti ini. Tugasku belum selesai." Sambil nangis, saya peluk dia, saya katakan, "apa yang kamu rasakan. Aku mau bilang sama Tuhan, kalau bisa Tuhan sembuhkan aku agar aku bisa melayani Dia seratus persen dan aku gak mau main-main. Masa depan Michael masih panjang, tetapi aku gak bisa berbuat apa-apa karena ya beginilah aku." Dan disitulah kami berpelukan, disitu kami katakan, "Tuhan, kami mau mengasihi Tuhan hari ini juga, ""

Karena sakit yang semakin parah ia rasakan dan tidak mau menyusahkan istri dan anaknya, kemudian Budi memutuskan kembali pulang ke Magelang dengan alasan mau berobat disana.

Beberapa hari kemudian, Yani dikejutkan oleh kedatangan adik iparnya yang membawa berita Yani terguncang.

"Aku sempat setengah sedih juga, setengah gak percaya. Jujur saja secara manusia, sakit banget itu buat aku."

Dalam kesedihan mendalam, Yani dan puteranya menuju ke Temanggung, tempat Budi disemayamkan.

"Ketika sampai di Temanggung, betapa kagetnya aku. Aku gak boleh masuk. Di pinggir pintu, aku nangis luar biasa. Aku sakit gitu. Kok sudah dalam keadaan di peti dan gak bisa lihat wajahnya lagi. Aku nangis disitu, "Tuhan, ini apa lagi yang harus aku hadapi. Aku gak boleh masuk terutama oleh tantenya. Tantenya itu ya, aku inget ya waktu itu ia katakan, "kamu tuh bagaimana, istri tidak bertanggung jawab katanya?,"" kenang Yani dengan rona kesedihan yang mendalam.

Setelah Budi meninggal, Yani baru mengetahui bahwa Aldo ternyata menderita tuna rungu, namun itu tidak mengurangi kebahagiannya. Yani sadar bahwa Aldo adalah warisan yang ditinggalkan Budi untuknya.

"Papa tuh ingin kamu besok bisa main musik. Bisa melayani Tuhan, papa ingin berikan kamu tuh yang terbaik. Sebenarnya masih banyak yang harus papa kerjakan untuk kamu, apalagi untuk masa depan kamu,"

"Tuhan baik karena telah memberi aku mama dan papa. Terima kasih Tuhan," ujar Aldo dengan menggunakan bahasa simbol.

Pemeliharaan Yani dan Aldo sungguh terbukti. Harapan almarhum Budi untuk memberikan warisan mulai digenapi. Lagu S'mua baik yang Budi dulu ciptakan, kini menjadi lagu populer.

"Aku gak pernah tahu kalo lagu Smua Baik itu dikasetkan. Aku dengar suatu saat di salah suatu kebaktian. Aku tahu ,"Smua baik", lho itu bukannya lagu Budi yang ngarang. Aku sempat nangis sama Tuhan."

Melalui suatu proses pencarian oleh Tommy, rekan Budi, Budi pun mendapatkan royalti atas lagu yang diciptakannya.

"Ketika aku mendapat itu pertama kali, aku sampe bersujud sama Tuhan. Saya sangat senang sekali. Saya sangat bersyukur ternyata bener ya Tuhan itu ajaib, Tuhan itu menanti. Apapun yang saya lakukan, saya percaya Tuhan itu mengampuni. Ketika kehidupanku mengalami hal yang demikian ya. Udah jatuh, berdosa akhirnya Tuhan angkat kembali. Tuhan pulihkan kembali. Itu yang luar biasa makanya sampai sekarang aku tuh jatuh cinta sama Tuhan karena buat aku dan anakku buat aku semangat," ujar Yani mengakhiri kesaksiannya. (Kisah ini ditayangkan 14 Desember 2009 dalam acara Solusi Life di O'Channel)

Sumber Kesaksian:
Dorkas Yuliani
Sumber : V091215143935
Halaman :
1

Ikuti Kami