Dianggap Melakukan Penginjilan, Lima Wanita AS Dideportasi Dari Maroko

Internasional / 6 April 2009

Kalangan Sendiri

Dianggap Melakukan Penginjilan, Lima Wanita AS Dideportasi Dari Maroko

Budhi Marpaung Official Writer
5838

Pemerintah Maroko mengumumkan pada hari Minggu (29/3) telah mengusir lima wanita Kristiani asing mencoba "menginjili" dalam negara Islam, meskipun sumber-sumber mengatakan mereka adalah pengunjung asing yang belajar Alkitab dengan sesama Kristen.

Pemerintah Maroko memberikan keterangan mengenai status kelima wanita asing ini  yang dijadikan tersangka. Beliau mengatakan bahwa kelima wanita asing ini melakukan kegiatan yang dilarang oleh Pemerintah Maroko yakni melakukan dakwah (khotbah) dengan melibatkan warga Maroko. Pihak kepolisian Maroko menemukan bukti-bukti berupa sejumlah lembaran "propaganda" penginjilan, termasuk buku-buku Arab dan video.

Tetapi sumber lain mengatakan bahwa setiap orang yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah seorang Kristiani dan bahwa mereka hanya berkumpul untuk belajar Alkitab, yang katanya ilegal di Maroko dari hak konstitusional kebebasan untuk menyatakan satu dari iman.

Tiba di pertemuan pada pukul 17:00 waktu setempat, 18 polisi detektif menangkap orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut dan mereka semua diangkut ke mobil polisi. Mereka ditahan dan diminta keterangannya sampai Minggu pukul 5 pagi waktu setempat. Orang yang hadir di dalam pertemuan tersebut ada 23 orang.

"Ini merupakan penghinaan besar untuk perempuan, yang sebagian besar dari keluarga yang sama, ditangkap sebagai seorang kriminal," ujar salah sumber.

Sebelum penangkapan, semua materi di dalam pertemuan mereka telah menerima persetujuan resmi pemerintah. Kehadiran mereka di Maroko termasuk 15 perempuan dan satu laki-laki, dua perempuan dari ekspatriat asal AS dan Irak, dan lima perempuan menerima undangan kelompok tersebut di Casablanca. Pemerintah yang menyebut wanita tersebut "misionaris"  yakni empat satu Spanyol dan Jerman  telah mendeportasi mereka melalui feri ke Spanyol, menurut kantor berita resmi Maroko, MAP.

Elliot Abrams, Anggota Penasihat Senior untuk Dewan Kota bidang Hubungan Luar Negeri AS berpendapat bahwa keputusan pemerintah Maroko untuk membuang lima perempuan menunjukkan kurangnya kebebasan agama di Maroko,

Pemerintah Maroko memutuskan hubungan dengan Iran pada awal Maret karena kecurigaan bahwa pemerintah Iran telah mendukung kegiatan misionaris Islam Syiah yang diyakini akan mengganggu kesatuan dari 99 persen negara Sunni. Pada awal bulan ini yang sekolah untuk kalangan Syiah ditutup setelah tuduhan bahwa ia berusaha untuk mengubah kepercayaan siswa, dan kelompok hak asasi manusia yang mengklaim bahwa sekitar belasan orang telah ditahan diduga untuk mengubahnya ke Islam Syiah, menurut The Associated Press.

"Maroko umumnya lebih sensitif tentang kegiatan misionaris, dan tidak dapat dilihat untuk membolehkan Kristian Muslim menghentikan sementara aktivitas kegiatan," kata Elliot Abrams.

Seorang pekerja Kristiani setuju dengan pernyataan ini. Dia mengatakan pemerintah mungkin akan menyerang Kristen "untuk keseimbangan," bahkan jika mereka hanya melakukan studi Alkitab, setelah peluncuran inisiatif melawan kaum Syiah.

Negara di Afrika Utara memiliki kebanggaan karena menjunjung kebebasan beragama dan toleransi. Konstitusi memberikan kebebasan lebih dari satu agama, tetapi Pasal 220 dari Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan segala upaya untuk membujuk seorang muslim untuk menjadi agama lain adalah sebuah tindakan kriminal.

Pemimpin Gereja Resmi "Menerkam"

Perwakilan resmi dari negara Maroko menyatakan bahwa kegiatan dakwah (khotbah) yang dilakukan oleh siapa pun, baik secara individu maupun lembaga yang melibatkan masyarakat Maroko dilarang. Gereja hanya diperbolehkan untuk membimbing umatnya dalam pencarian rohaniah.

Uskup besar dari Rabat Monsignor Vincent Landel dan Ketua Gereja Injili Maroko Jean-Luc Blanc mengeluarkan pernyataan bersama yang intinya bahwa umat Katholik dan umat Islam harus fokus pada dialog, terutama mengenai definisi aturan "kegiatan dakwah (khotbah) keluar."

"Dialog ini memiliki intelektual dan dimensi teologi  untuk mengatasi dimensi bidang sosial dan budaya," tulis mereka. "Jadi, umat Kristiani terlibat dalam berbagai kegiatan bersama umat Islam, sama berbagi nilai-nilai dan tujuan dan tidak takut terhadap mereka yang menunjukkan perbedaan."

Gembala sebuah gereja Pentakosta Perancis yang berada di Casablanca Blanc mengatakan bahwa persekutuan ini kebanyakan terdiri dari orang-orang ekspatriat dari seluruh Afrika. Dia juga mengritik kelompok misi independen asing, terutama mengenai kekhwatiran para anggota kelompok misi tersebut terhadap keseimbangan kehidupan antarberagama di Maroko.

"Gereja Katolik dan Protestan telah beroperasi di Maroko lebih dari satu abad, dan telah belajar selama bertahun-tahun untuk hidup dalam harmoni dengan negara dan orang-orangnya," kata Blanc dalam pernyataan resminya kepada media setempat.

Pada tahun 2007 Menteri Urusan Keislaman dan Wakaf mengklaim bahwa misionaris asing telah mengubah kepercayaan masyarakat Maroko lebih dari 3000 orang memeluk agama kristen, khususnya di daerah terpencil di negeri ini, menurut Laporan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2008.

Namun, menurut keterangan salah satu sumber di Maroko mengatakan bahwa Islam radikal dianggap jauh lebih mengancam daripada penginjilan umat Kristiani.

Sumber : cbn.com/bm
Halaman :
1

Ikuti Kami