Leonard Riggio: Juragan Buku Pengubah Industri

Entrepreneurship / 8 March 2009

Kalangan Sendiri

Leonard Riggio: Juragan Buku Pengubah Industri

Tammy Official Writer
3711
Leonard Riggio telah disebut sebagai "Ted Turner-nya toko buku" - seorang yang tidak konvensional yang mempertimbangkan resiko-resiko yang berulangkali membawa prediksi akan gagal, bahkan ketika mengubah kembali sebuah industri dengan gambarannya. Salah seorang pe-ritel buku pertama yang mengerti bahwa toko buku adalah sebuah panggung dan bahwa ritel adalah teater besar. Riggio menjadikan toko buku menyenangkan, mengubahnya menjadi pedesaan dimana orang-orang bergerombol untuk nilai hiburan sebagai pilihan tertinggi. Itu adalah marketing yang jenius, dikombinasikan dengan kemauan untuk mematahkan peraturan-peraturan, yang telah menolong Riggio menjadi salah satu figure paling kuat dan kontroversial dalam dunia buku.

Riggio memulai karir penjualan buku di awal 1960an. Terlalu miskin untuk kuliah penuh waktu, ia mengambil pekerjaan sebagai pegawai di toko buku kampus New York University (NYU) selagi belajar teknik metalurgikal di kampus kota NYU di malam hari. Sebagaimana ketertarikan dan pengalamannya di ritel bertumbuh, Riggio mengambil kesimpulan bahwa ia bisa melakukan pekerjaan lebih baik dibandingkan boss-nya bisa lakukan. Maka pada tahun 1965, di usia 24 tahun, ia drop out dari kampus, dan dengan $5000 di tabungannya, ia membuka toko buku kampus sendiri, SBX (for Student Book Exchange), di pojok dari toko buku NYU. Toko tersebut dapat berjuang, dan Riggo menggunakan keuntungan-keuntungannya untuk membuka empat lagi toko buku kampus di sepanjang kota New York. Lalu pad 1971, Riggio meyakinkan para bankir untuk meminjamkan dirinya $1.2 juta hingga ia bisa membeli toko buku Barnes & Noble yang sedang berjuang di Fifth Avenue dan 18th Street.

Leonard RiggioHingga Riggio datang, menjual buku-buku seperti sesuatu hal yang apek dan pertapa. Tetapi akan mengubahnya. Pada 1974, ia membuka Barnes & Noble Sales Annex sepanjang jalan dari toko Barnes & Noble yang asli. Ia mengeluarkan meja-meja dengan buku-buku, menyediakan shopping carts, menaruh kursi-kursi kayu - dan memberikan gratis The New York Times Book Review. Mengambil bagian dari pasar besar seperti Wal-Mart, Riggio beriklan dengan agresif. Slogannya: "Jika Anda membayar harga penuh, Anda tidak akan mendapatkannya di Barnes & Noble." Kompetisinya yang beradab pun terjadi, tetapi Riggio mengetahui bahwa dunia ritel telah berubah. "Kami merasa bahwa kami adalah gambaran dari toko-toko buku yang akan datang - tidak ada pertanyaan mengenai itu," ujarnya kepada seorang reporter di akhir 1970an. "Hari-hari dimana daftar harga penjualan buku diberi nomor."

Riggio lulus dari liga besarnya pada 1986, ketika, ia membeli B. Dalton, sebuah rantai ritel dari 800 toko-toko buku mall. Dikombinasikan dengan 37 toko buku Barnes & Noblenya ditambah 142 toko buku kampus, pembelian tersebut menjadikan Riggio seorang peritel buku paling besar di AS. Beberapa tahun tak lama setelah itu, ia membeli satu rantai toko buku berbasis di mall setelah membeli yang lainnya, seperti Scribner's, Bookstop dan Doubleday Book Stores. Tetapi merasakan perubahan lain di dunia ritel, Riggio dengan tiba-tiba meninggalkan strategi berbasis mall-nya di awal 1990an dan mengubah perhatiannya untuk membangun bangunan-bangunan toko besar.

Memvisikan toko-toko barunya sebagai tempat berkumpul dimana para kustomer nongkrong dan berlama-lama, Riggio melengkapi mereka dengan kursi-kursi nyaman, menyediakan kopi Starbucks, dan menjaga pintu tetap terbuka hingga pukul 11 malam. Strategi Riggio lebih dari sekedar menjual buku-buku - ia ingin untuk membangun nama brand.

Barnes & NobleRiggio tidak menciptakan konsep superstore. Borders-lah yang pertama. Tetapi seperti wirausahawan kebanyakan, Riggio mengambil ide yang sudah ada dan meningkatkannya. "Ia melihat apa yang sedang terjadi, mempertaruhkan perusahaannya dalam sebuah konsep baru, dan itu bekerja," ingat Bobby Haft, yang akhirnya kemudian menjalankan Crown Books. "Pada awalnya, Anda memiliki para eksekutif penerbit yang tidak mempercayai (dalam konsep toko besar). Leo keluar dan tetap membangunnya. Dan mereka semua berkata, "Ah, ya. Tentu saja! Itu dia!"

Mengikuti rencana superstore, Barnes & Noble Inc. mendapat pemasukan dua kali lipat dari $1.08 milyar pada 1992 hingga $2.4 milyar pada 1996. Pada 1998, toko-toko besar Barnes & Noble membuka toko rata-rata 90 per tahun. Tetapi dengan dominasi hadirlah kontroverso. Riggio menjadi target kritik dari para pemilik toko buka kecil independen yang mengklaim toko-toko besarnya memaksa mereka keluar dari bisnis. Mereka bahkan menuduh Riggio memaksa para penerbit agar memiliki perjanjian rahasia dan ilegal. Riggio menyangkal tuduhan-tuduhan tersebut, menjelaskan kepada mereka dengan masam. "Bisnis toko buku dahulu adalah institusi elit, dan di luar jangkauan. Saya membebaskannya dari hal tersebut."

Leonard Riggio dengan toko-toko besarnya memang telah mengubah bisnis buku dengan begitu dalam menjadi sesuatu semenjak bangkitnya paperback.

Leonard RiggioTetapi seperti yang Riggio katakan bahwa revolusi baru saja dimulai... dan Internet adalah lahan pertempurannya. Barnes & Noble telah melibatkan diri dalam perjuangan berbagi pangsa penjualan buku di Internet dengan pionir toko buku online Amazon.com. Tetapi Riggio melihat Internet lebih dari sekedar tempat untuk menjual buku-buku. Bervisi sebuah pelayanan online yang akan mengijinkan para pembeli untuk mendownload dan print semua atau sebagian dari sebuah buku, Riggio mempercayai Internet akan mengubah konsep dari apa yang para konstitusi penerbit bekerja. "Perubahan ada dalam 10 tahun selanjutnya," ia memperkirakan dalam sebuah artikel di Businessweek pada 1998, "akan lebih besar dari apa yang telah terjadi selama 10 tahun terakhir." Dan jika Riggio memiliki jalannya sendiri, Barnes & Noble akan menulis babak selanjutnya dalam sejarah ritel juga.


Sumber : entrepreneur.com
Halaman :
1

Ikuti Kami