Swandani: Dengan Usaha Dan Doa, Jalan Pasti Terbuka

Entrepreneurship / 20 November 2008

Kalangan Sendiri

Swandani: Dengan Usaha Dan Doa, Jalan Pasti Terbuka

Tammy Official Writer
5687
Tahun 1986 tak akan bisa dilupakan Swandani. Pasalnya, di tahun itulah wanita berambut pendek ini dengan susah payah merintis usaha kuliner (rumah makan) yang kini kondang dengan nama "Dapur Solo." Usaha itu dimulai dari garasi rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta.

Di tempat yang sederhana itu dia menjual aneka makanan sederhana semacam gado-gado, rujak, jus buah, dan lain-lain. Sambil menggendong putrinya yang baru berumur satu tahun ketika itu, Swandani mempromosikan warung makannya. Dia menulis sendiri "brosur", lalu menyebarkannya ke rumah-rumah dan pusat-pusat perkantoran di wilayah Sunter. Usaha kerasnya tidak sia-sia. Bisnis wanita kelahiran Solo, 10 Desember 1961, ini terus berkembang. Awalnya, usahanya ini sekedar coba-coba. "Pasalnya saya bukan ahli masak," ujar ibu Swandani.

Tanpa rencana, tahun 1986 bersama suami dan anak, Swandani hijrah dari Bandung, Jawa Barat ke Jakarta. Meninggalkan Kota Kembang menuju Kota Metropolitan jelas suatu "perjudian nasib" bagi keluarga kecil itu. "Terus terang, ketika itu belum kebayang Jakarta itu kayak apa," ujarnya mengenang.

Rasa khawatirnya menjadi nyata. Belum setahun di Jakarta, suaminya, Heru Kuswarga, sering sakit-sakitan akibat tekanan pekerjaan. Menghadapi kenyataan itu Swandani pun berpikir keras tentang usaha apa yang akan ia jalankan apabila nanti sang suami tidak mampu lagi mencari nafkah. Sekian lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk menjual rujak sebagai dagangan sungguh sederhana: "Aku sangat suka makan rujak," cetusnya geli. Sebelum itu dia memang sudah sering mengulek rujak untuk dimakan sendiri, jika merasa harga rujak mahal.

Tiga bulan pertama, hasil penjualan rujaknya sangat minim karena musim hujan. Namun Swandani pantang menyerah. Siang dia jualan, sore menebar brosur. Rasa capek seolah terbayar ketika menjelang memasuki bulan keempat omzetnya meningkat dari Rp. 3000 menjadi 10.000 per hari, bahkan Rp. 25.000. Di tahun 1986, uang sejumlah itu nilainya lumayan besar.

Sukses mensual rujak dan jus, Swandani menambah dagangannya dengan gado-gado. Pilihan ini dilatari kegemaran masyarakat Jakarta yang doyan gado-gado. Berhubung dia belum pernah bikini gado-gado, tidak sedikit pembeli yang protes sebab rasanya nggak karu-karuan. Sang suami, yang ternyata sehat dan kembali bekerja, juga turut mengkritik gado-gado made in Swandani itu. Setelah tiga hari bereksperimen mencoba formula baru gado-gado, barulah para pelanggan merasa cocok. Dengan sendirinya omzet pun meningkat, terlebih karena peminat gado-gadonya lumayan banyak.

Cicil Ruko
Tiada kata cukup untuk bisnis. Wanita yang suka jalan-jalan ini terus berpikir untuk mengembangkan dagangannya. Sebuah ruko direncanakan dibeli sebagai tempat usa rumah makan. Ternyata tidak mudah mewujudkannya karena modal belum mencukupi untuk beli ruko. Sang suami bahkan dengan pesimis bertanya, "Dari mana kita dapat uang untuk membeli ruko?" Swandani berusaha meyakinkan sang suami, bahwa setiap niat yang baik, jira dilakukan dengan usaha keras dan doa, jalan pasti terbuka.

Swandani benar. Jalan itu mulai tampak ketika beberapa waktu kemudian perusahaan real estat dimana sang suami bekerja, membangun kompleks ruko di kawasan Sunter Paradise, Jakarta Utara. Perusahaan memberi keringanan bagi Swandani untuk membeli satu unit ruko itu dengan cara mencicil. Setelah pindah ke ruko,warung Swandani yang diberi nama "Dapur Solo" tentu makin bonafid. Menunya pun harus disesuaikan sebab pelanggannya makin banyak. Karyawan-karyawan perusahaan sekitar banyak yang menikmati makan siang di sini. Dengan perkembangan yang pesat ini, Swandani dibantu beberapa orang, mulai dari memasak, maupun melayani pelanggan.

Sumber : Reformata/Tmy
Halaman :
1

Ikuti Kami