Menemukan Tuhan Dalam Kepedihanku

Family / 13 November 2008

Kalangan Sendiri

Menemukan Tuhan Dalam Kepedihanku

Lestari99 Official Writer
6147

Kebencian dan dendam yang mendalam ia lampiaskan pada judi dan minuman keras. Bahkan ia menyalahkan Tuhan. Inilah yang dirasakan oleh William Naihati.

William kecil hidup di sebuah desa yang sangat gersang. Hari-harinya dilalui hanya untuk membantu orang tuanya. Tidak ada istilah untuk bermain. Bermain berarti siap untuk dihukum.

"Tugas saya setiap kali sepulang sekolah adalah menggembalakan sapi. Ayah saya lebih menyayangi hewan peliharaannya, seperti sapi, dibandingkan dengan kami anak-anaknya. Kalau sampai saya lalai menggembalakan sapi, hukuman dari ayah saya pasti sudah menanti," ujar William membuka kesaksiannya.

Hukuman yang harus William terima pun cukup sadis. Dengan bersandar pada tembok, William kecil harus pasrah menerima pukulan demi pukulan dari rotan oleh ayahnya. Rasa sakit yang dialaminya sungguh tak terkatakan. Namun terkadang William tetap nekad mencuri waktu untuk bermain dengan teman-temannya. Hingga pada suatu hari, William lupa memberi makan ternaknya. Kecerobohannya ini harus dibayarnya dengan mahal.

Waktu itu William diajak bermain oleh teman-temannya. Saat itu William belum memberi minum ternaknya. Dan memang pada saat itu bukan hal yang mudah bagi William untuk mendapatkan air di desanya yang gersang. William pun terlambat memberikan minum kepada sapi peliharaan ayahnya. Sesampainya di kandang, William hanya dapat terpana melihat sapi peliharaan ayahnya telah mati. Kepanikan pun melanda dirinya. Apalagi saat ia melihat ayahnya datang menghampiri dirinya.

"Sewaktu ayah tahu sapinya telah mati, tanpa bertanya terlebih dahulu ayah langsung menarik saya, mengambil rotan dan langsung memukuli saya. Ayah saya tidak bertanya sedikitpun mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan apa sebabnya sampai sapi itu bisa mati. Saat itu timbul perasaan benci yang sangat kuat di dalam hati saya," kisah William mengingat perlakuan ayahnya terhadap dirinya.

Tidak terbersit sedikitpun pengampunan untuk ayahnya. Bahkan William telah berniat untuk membunuh ayahnya. Kalau saja ayahnya tahu William berniat membunuhnya, mungkin saja ayahnya akan membunuhnya saat itu. Dalam hati kecilnya pun William sebenarnya takut kalau ayahnya akan membunuh dirinya. Ketakutan itu mengurungkan niatnya untuk melawan dan mencoba membunuh ayahnya.

Tak mampu menahan kepedihan hatinya, William berencana meninggalkan ayahnya. William telah mengambil keputusan untuk pergi merantau, jauh dari ayahnya, dan ia sendiri pun tidak terpikir untuk kembali lagi.

Tanpa membuang waktu, William pergi meninggalkan rumah tanpa tahu kemana arah tujuannya. William sampai di Kupang dan bekerja sebagai tukang bangunan di sana. Atasan William adalah seorang pengusaha yang memiliki kafe di Bogor. Atasannya itu pun mengajak William untuk ikut dengan dirinya ke Bogor.

Bertahun-tahun sudah William pergi meninggalkan sang ayah dan tak ada sedikitpun rasa ingin kembali bertemu. Rasa benci yang dirasakannya sejak kecil ternyata masih disimpannya sampai ia dewasa. Dan kebencian yang dirasakannya di dalam hati dilampiaskan William dengan terjun ke dunia perjudian dan minuman keras. Keterikatan William pada minuman keras membuat William akhirnya mulai mencuri botol demi botol minuman keras dari kafe tempatnya bekerja. Saat bosnya mengetahui perbuatan William, ia pun dipecat dari pekerjaannya.

Kepedihan dan kegagalan yang dialami di dalam hidupnya membuat William selalu menyalahkan Tuhan atas segala yang terjadi. Saat itu William tak henti bertanya di dalam hatinya, ‘Tuhan itu ada, tapi kok hidup saya bisa seperti ini!'. Tidak ada damai sejahtera sama sekali dirasakan William di dalam hatinya. Tuhan yang katanya penolong itu bukanlah hal yang nyata bagi William. Hanya kebencian dan dendam yang menguasai hati William saat itu.

Hingga suatu ketika seorang teman mengajak William ke sebuah acara yang tanpa disadari membawa perubahan di dalam hidup William. Teman William mengajak dirinya untuk pergi ke gereja. Ajakan pertama, William masih menolaknya dan menyuruh temannya untuk pergi sendiri. Hatinya masih menolak untuk percaya bahwa Tuhan itu sesungguhnya benar-benar ada dan perduli padanya. Namun teman William tak berputus asa dan tetap mengajaknya pergi ke gereja dan menawarkan untuk mendapatkan damai sejahtera. Mendengar kata ‘damai sejahtera', William pun akhirnya mempertimbangkan untuk ikut ke gereja bersama temannya demi menemukan damai sejahtera yang tak pernah dirasakannya di dalam hatinya.

Pertama kali pergi ke gereja, khotbah yang disampaikan saat itu mengenai jalan menuju ke surga. Orang-orang yang menuju ke surga itu adalah orang-orang yang bertobat, orang-orang yang bersikap suci. Firman Tuhan yang didengar William saat itu kembali direnungkannya di kamar sepulangnya ia dari gereja. William terus memikirkan dan mempertanyakan Firman yang didengarnya hari itu. Kenapa jalan ke surga hanya ditujukan untuk orang yang bertobat, sedangkan bagi orang yang berdosa seperti dirinya tidak bisa masuk surga. Hal itu membuat William pun memutuskan untuk bertobat dan menemukan jalannya menuju surga.

William pun berdoa, "Tuhan, ampuni saya. Ampuni keluarga saya, terutama ayah saya.". Ada perasaan menyesal melingkupi hati William mengingat bagaimana ia telah memperlakukan ayahnya selama ini, bagaimana perasaan benci begitu menguasai hatinya sampai terlintas niat untuk membunuh ayahnya sendiri. Di dalam kamar, William hanya dapat menangis memohon pengampunan dari Tuhan. William pun memutuskan untuk mengikuti Tuhan Yesus.

Jamahan Tuhan membuat William menemukan kedamaian sejati sehingga ia mampu menghapus rasa dendam dan benci yang selama ini mengikat hidupnya. Kedamaian yang selama ini ia cari sudah ia dapatkan.

"Tadinya saya seperti orang yang belum menemukan jalan hidupnya. Tapi puji Tuhan, Tuhan Yesus begitu luar biasa bagi hidup saya, bagaimana ia bisa mengubah hidup saya. Saya adalah seorang yang tidak pantas di hadapan Tuhan Yesus tapi saya mengucap syukur karena Dia telah mengubah hidup saya, Dia sudah memberikan apa yang saya perlukan, dan saya tak pernah kekurangan. Hal itu yang membuat saya senantiasa mengucap syukur kepada Tuhan Yesus," ujar William dengan penuh kebahagiaan menutup kesaksiannya. (Kisah ini sudah ditayangkan pada 13 November 2008 dalam acara Solusi Life di O'Channel)

Sumber Kesaksian :
William Naihati
Sumber : V081112164925
Halaman :
1

Ikuti Kami