Obama dan Reformasi Indonesia

Nasional / 9 November 2008

Kalangan Sendiri

Obama dan Reformasi Indonesia

Tammy Official Writer
4109
BARACK OBAMA, seorang muda, setengah hitam, dan anggota senat dari Negara Bagian Illinois yang baru dipilih dua tahun lalu, dipastikan akan dinobatkan sebagai presiden AS terpilih. Sebelumnya, Obama sudah mengejutkan setelah dia dicalonkan oleh Partai Demokrat.

Ia mengalahkan hampir selusin politisi kawakan yang jauh melebihi jam terbangnya, termasuk Hillary Clinton, istri mantan Presiden Bill Clinton, anggota lama di senat dari New York, dan politisi perempuan yang paling mencolok di Amerika selama puluhan tahun.

Apa yang menyebabkan kemenangan yang menakjubkan ini dan apa relevansinya buat Indonesia? Sebagai warga negara kawakan, yang sudah lama terlibat dalam politik Amerika, saya melihat empat alasan penting bagi kemenangan Obama: tuntutan ide demokrasi sebagai fondasi bangunan negara kami; aturan pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah luas, yang berbeda dengan pemerintahan parlementer dalam negara sentralistis; Amerika sebagai negara majemuk yang senantiasa terbuka kepada imigran; dan sejarah Partai Demokrat, partai yang memilih Obama sebagai calon presidennya.

Pengalaman Indonesia dan Amerika tentu tidak serupa dalam segala hal, tetapi saya melihat cukup banyak persamaan, khususnya kalau kita bersedia melihat beberapa tahun ke depan.

All men are created equal, semua orang diciptakan setara. Di dalam Pernyataan Kemerdekaan Amerika, ketika kami memisahkan diri dari Kerajaan Inggris, tidak ada ide yang lebih dasar atau inti. Meskipun Thomas Jefferson dan rekan-rekannya, yang menyusun kalimat itu, masih memiliki budak dari Afrika, mereka memahami betul bahwa orang hitam adalah manusia juga. Pada suatu waktu kaum budak itu akan memanfaatkan kata-kata luhur yang tertera dalam Pernyataan Kemerdekaan untuk menuntut kebebasan yang memang merupakan hak mereka. Pada abad ke-21 kita semua ingat bahwa orang hitam Amerika telah berjuang selama ratusan tahun sebelum hak mereka diakui melalui Perang Saudara pada abad ke-19 dan civil rights movement, perjuangan hak asasi, pada akhir abad ke-20. Pencalonan Obama adalah satu langkah lanjut dalam perjuangan yang belum selesai ini.

Kedua, jenis demokrasi Amerika, yaitu demokrasi presidensial dalam wadah otonomi daerah luas, juga berpengaruh. Di negara-negara sentralistis yang parlementer seperti Inggris, para politisi muda hanya bisa naik ke puncak pemerintahan lewat jenjang partai. Mereka diberi latihan khusus serta tugas kecil selama beberapa tahun sebelum diizinkan masuk parlemen.

Di parlemen mereka menjadi backbencher, yang betul-betul bermakna anggota yang duduk di bangku belakang dan dilarang merepotkan pemimpin partai. Tony Blair harus melalui proses pengujian yang panjang sebelum dipercayai dengan kedudukan di kabinet, apalagi diangkat sebagai perdana menteri. Dalam pemerintahan parlementer, seorang Obama tak mungkin menerobos dinding partai pada usia muda. Dalam negara sentralistis seorang Obama tidak mungkin melompat dari daerah ke pusat.

Ketiga, selama dua ratus tahun kami berhasil mempertahankan sebuah open door policy, kebijakan pintu terbuka. Hal itu tidak berarti bahwa para pendatang selalu diperlakukan dengan baik. Orang Tionghoa pada akhir abad ke-19, orang Jerman dan Jepang pada masa Perang Dunia Pertama dan Kedua, orang Meksiko dan Arab pada masa kini (yang diwarnai globalisasi ekonomi dan teror politik), semuanya dicurigai dan terkadang diancam dengan pengusiran.

Namun, Samuel Huntington hanya separuh benar ketika dia mengaku dalam buku kontroversialnya, Who Are We? bahwa kesuksesan Amerika tidak bisa dilepaskan dari akarnya dalam budaya Inggris Protestan pada Zaman Pencerahan. Yang seluruhnya benar adalah bahwa Amerika dari awal sampai kini adalah produk hibridisasi. Barack Obama mewakili dan membuktikan kenyataan itu.

Terakhir, Barack Obama adalah hasil sejarah Partai Demokrat yang merangkul orang hitam pada masa pemerintahan Franklin Roosevelt, yang mulai menjabat sebelum Perang Dunia Kedua. Sayangnya, selama puluhan tahun partai itu bersikap skizofreni, sekaligus mewakili kelas buruh di Utara, termasuk orang hitam yang bekerja di pabrik industri, serta para tuan tanah di Selatan yang bersikap rasis.

Setelah John F Kennedy menjadi presiden tahun 1960, Partai Demokrat memperjuangkan hak-hak orang hitam dengan sungguh-sungguh. Kaum Demokrat dibantu secara tidak sengaja oleh pemimpin Partai Republik Richard Nixon, yang pada awal tahun 1970-an mencari dukungan orang putih dengan "strategi Selatan"-nya. Nixon menang di hampir semua negara bagian Selatan, tetapi ongkosnya besar. Sampai kini hampir 80 persen orang hitam di seluruh Amerika menjadi pendukung setia Partai Demokrat. Mereka merupakan salah satu basis utama Obama dalam primary elections, pemilihan pendahuluan selama tahun 2008.

Indonesia
Obama Dan Reformasi IndonesiaDi Indonesia, garis besar pemilihan presiden tahun 2009 sudah cukup jelas. Presiden Yudhoyono, yang berasal dari kelas politisi Orde Baru, akan dilawan oleh calon-calon yang juga sudah lama dikenal para pemilih. Sebaiknya janganlah berharap akan ada calon baru-muda, pinter, terampil bicara, penuh ide untuk memecahkan masalah-masalah bangsa, berasal dari golongan minoritas-yang menggiurkan seperti Obama.

Meski demikian, sejarah singkat reformasi Indonesia khususnya sejak tahun 2004, baik di pusat maupun di daerah, memberi kesan kuat bahwa sebuah kelas politisi baru sudah mulai menggeliat. Seperti Amerika, Indonesia adalah masyarakat majemuk yang restless, yang bergerak terus.

Negara-negara kita berdua (saya tawarkan: Kedua negara) sedang memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi kita masing-masing, termasuk pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah luas, untuk menemukan jawaban serba baru kepada tuntutan zaman yang serba baru pula. Jadi, jangan terlalu terkejut kalau ada seorang Obama ala Indonesia yang muncul mendadak dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS.

Sumber : kompas.com/Tmy
Halaman :
1

Ikuti Kami