Diwawancarai harian The Times of India tanpa disebutkan identitasnya, wanita muda India itu menceritakan betapa senangnya dia bekerja di sebuah call center di New Delhi India. Gaji selangit dan punya kesempatan berkenalan dengan banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Tapi, kenikmatan itu agak terganggu akhir-akhir ini. Penyebabnya? Ternyata hanya karena di tempatnya bekerja kini berdiri sebuah mesin otomatis penjual kondom.
''Mesin itu merusak reputasi call center. Sepertinya kami yang bekerja di sini adalah para pelaku seks bebas semuanya. Saya khawatir, hal tersebut bisa membuat para orang tua melarang anak gadisnya bekerja di bidang ini,'' katanya sebagaimana dilansir The Times of India beberapa waktu lalu.
Bisa jadi, si wanita muda itu tak sendirian merasa tidak nyaman atas kehadiran mesin kondom tersebut. Mereka yang bekerja di call center umumnya anak-anak muda bergelar sarjana. Jadi, otomatis mereka sangat aware terhadap pentingnya citra dan pencitraan.
Di negeri dengan penduduk terpadat kedua di dunia itu, call center adalah sebuah fenomena baru. Itulah simbol modernisasi. Itulah bidang pekerjaan impian generasi muda di sana, baik perempuan maupun laki-laki. Bergaji tinggi dan tiap hari hanya bertugas melayani para penelepon yang ingin berbincang tentang apa saja, mulai pekerjaan, persahabatan, bahkan ke obrolan cinta.
Karena yang dilayani para penelepon dari berbagai negara dengan beragam zona waktu, otomatis banyak di antara mereka yang harus bekerja malam, baik pekerja perempuan maupun laki-laki. Dari situlah masalah muncul, yang pada akhirnya berbuntut pada berdirinya ''ATM'' kondom tadi di banyak call center.
''Laki-laki dan perempuan sama-sama baru memasuki dunia kerja untuk kali pertama,'' kata Dr. Suniti Solomon, pemilik sebuah klinik AIDS di Chennai. ''Mereka bergaji tinggi, kebanyakan dari luar kota dan jauh dari orang tua. Atmosfer ini merangsang tumbuhnya budaya seks bebas di antara mereka.''
Celakanya, lanjut Solomon, meski berpendidikan tinggi, pengetahuan mereka tentang bahaya HIV/AIDS tergolong rendah. Itu yang memicu meningkatnya penularan HIV di kalangan pekerja call center di negeri tempat lahir banyak ilmuwan terkemuka tersebut. Memang, belum ada angka pasti. Tapi, Solomon punya data sendiri. Menurut dia, di antara empat pekerja call center yang menjalani tes darah di kliniknya, tiga orang terinfeksi HIV. Padahal, total ada 1,3 juta pekerja call center di seluruh India.
Rendahnya pengetahuan tentang HIV di kalangan anak muda berpendidikan tinggi itu memang terkesan ironis. Tapi, itu adalah buah dari sebuah efek domino: pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah karena pendidikan seks di India memang minim. Dan, minimnya pendidikan seks itu terjadi karena masalah seks masih dianggap tabu untuk diperbincangkan secara terbuka. Apa boleh buat, di balik segala kemajuan teknologi dan perekonomian yang terus berderap, India tetaplah negeri dengan mayoritas penduduk yang pandangannya masih konservatif.
Sekadar contoh, baru-baru ini para pemuka Hindu menentang keras kampanye pentingnya sunat yang dilakukan para aktivis anti-HIV/AIDS. Jauh sebelum itu, sebagian kalangan muslim di negeri itu juga memprotes keras gaya berpakaian petenis Sania Mirza yang dianggap kelewat seksi dan ''tidak Islami''.
Munculnya call center sebagai pusat penyebaran HIV/AIDS tersebut memaksa para aktivis anti-HIV/AIDS di sana harus mengubah strategi. 10 tahun lalu, penyebaran virus maut itu mayoritas berpendar di kalangan sopir truk dan pekerja seks komersial. Maka, kampanye anti-HIV/AIDS pun mudah. ''Kami tinggal berkonsentrasi kepada mereka dan membagi kondom gratis sebanyak mungkin. Sebab, umumnya mereka tak punya cukup uang untuk membeli kondom tiap berhubungan seks bukan dengan pasangan tetapnya,'' kata Dr. Harish Pathak, salah seorang aktivis.
Tapi, kini para aktivis harus menghadapi anak-anak muda pintar yang berkantong tebal. Mereka lebih dari mampu membeli berpuluh-puluh kondom. Yang tak mereka punyai adalah pengetahuan memadai tentang bahaya AIDS.