Bercerai, Boleh Tidak?

Marriage / 12 September 2008

Kalangan Sendiri

Bercerai, Boleh Tidak?

Purnama Sari Dewi Gultom Official Writer
14781

Boleh tidaknya orang Kristen bercerai, jika boleh alasan apa yang membolehkan, jika sudah cerai, apakah dapat menikah kembali, sering kali topik ini menjadi diskusi yang seru. Karena itu saya perlu menuliskan bagian ini untuk melengkapi pemahaman pertanyaan banyak orang; "Pak, boleh kan cerai kalau pasangan ‘berzinah', karena Alkitab mengatakan ‘Tidak boleh cerai KECUALI karena zinah'."

Matius 5:32, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah."

Dalam bahasa Indonesia, karena keterbatasan perbendaharaan bahasa, semua digunakan kata ‘zinah'. Untuk bahasa Inggris ternyata digunakan kata yang berbeda sesuai bahasa asli Alkitab yang juga berbeda. Menurut versi King James:

Mathew 5:32, "But I say unto you, that whosoever shall put away his wife, saving for the cause of fornication, causeth her to commit adultery; and whosoever shall marry her that is divorced committeth adultery."

Kata zinah dalam bahasa Yunani atau Gerika adalah porneia. Porneia berupa kata benda anarthrous. Makna kata proneia adalah harlotry. Kata harlotry meliputi segala macam bentuk kebejatan seksual, termasuk adultery (zinah), fornication (percabulan) dan incest (hubungan seks antar anggota keluarga; ibu dan anak, ayah dan anak, kakak dan adik; serta seks yang menyimpang, dengan binatang, boneka atau ‘sex toys' maupun alat-alat bantu). Secara figuratif, kata porneia dapat bermakna idolatry (penyembahan berhala, pemujaan, mengidolakan secara berlebihan terhadap sesuatu / seseorang). Kata porneia berasal dari kata kerja porneuw / porneuo, to attact the harlot, secara hurufiah berarti ‘indulge unlawful lust (or sex)', secara figuratif bermakna ‘practice idolatry' (mempraktekkan kebejatan seksual).

Adultery dalam bahasa Yunani atau Gerika juga dijumpai kata moicaw / moichao (baca: moi-kha-o) berupa kata kerja present indicative middle. Kata ini dijumpai dalam Matius 5:32 tadi. Makna kata moichao adalah to commit adultery (melakukan kemesuman atau percabulan), bukan hanya sekedar perzinahan atau jatuh dalam dosa zinah. Pelakunya disebut moicos / moikhos yaitu adulterer.

Dengan pemahaman di atas, jika versi King James tersebut saya terjemahkan dalam bahasa yang sederhana, akan menjadi demikian:

Matius 5:32, "Tetapi Aku berkata kepadamu, barangsiapa menceraikan istrinya, maka ia menyimpan sesuatu yang dapat menyebabkan kebejatan seksual; menyebabkan istrinya melakukan percabulan dan barang siapa menikahi wanita tersebut, ia melakukan percabulan."

Mengapa Tuhan Yesus mengatakan wanita itu akan (shall) melakukan percabulan (fornication) jika menikah lagi? Dan mengapa pria itu juga melakukan percabulan (fornication) jika menikahi wanita yang diceraikan suaminya? Karena pernikahan ditetapkan Tuhan bukan untuk diceraikan. Karena pasti mereka melakukannya berulangkali dalam pernikahan kedua itu, tak mungkin sekali saja, maka tergolong sudah cabul dan bukan zinah.

Yang terpenting untuk diperhatikan adalah bentuk kata kerjanya. Dalam bahasa Yunani atau Gerika, bentuk kata merupakan hal yang paling bermakna dalam suatu kalimat atau alinea. Perhatikan bentuk kata kerja moichao, ia berbentuk present indicative, artinya suatu berita biasa yang terjadi dalam tensis present namun ia berbentuk middle. Suatu kata kerja yang berbentuk middle tidak memerlukan obyek luar selain dirinya, atau tindakan itu sebenarnya mengarah kepada dirinya sendiri, seperti kata mandi. Seseorang yang mandi berarti obyeknya adalah diri sendiri, bukan orang lain atau benda lain. Sebenarnya kata mandi dapat pula dikatakan sebagai memandikan diri sendiri.

Dalam hal ini moichao berbentuk middle, artinya: sesungguhnya tidak memerlukan obyek di luar dirinya, karena akar percabulan, kemesuman, kebejatan seksual itu ada dalam lubuk hati seseorang atau ada dalam pikiran / batin seseorang. Kalau toh ada pria atau wanita lain di luar diri sendiri, itu hanyalah obyek tambahan saja.

Atau bisa juga secara lebih sederhana, untuk memahami arti Matius 5:32 ini jika saya tetap gunakan terjemahan seperti Alkitab bahasa Indonesia, dengan memasukkan kata fornication atau porneia dan kata adultery atau moichao (untuk mendekati arti sesungguhnya) akan menjadi demikian :

Matius 5:32, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena porniea, ia menjadikan istrinya moichao; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat moichao."

Ok, tidak usah bingung dengan segala macam istilah di atas. Intinya seperti ini, suami atau istri tidak dapat begitu saja menceraikan pasangannya jika mereka ‘jatuh' dalam perzinahan, menyeleweng ataupun khilaf. Atau pasangannya jatuh dalam dosa perzinahan kemudian mengaku, menyesal, minta ampun dan mau kembali, maka suami atau istri harus menerima kembali, mengampuni dan memulihkan keluarganya.

Kata zinah yang dipakai dalam Matius 5:32 adalah porniea yang berarti telah mempraktekkan segala kebejatan seksual, tidak mau ditegor, tidak merasa bahwa itu dosa, merasa bahwa itu kewajaran karena kebutuhan alamiah daging. Jika suami jatuh berzinah dengan pembantu, sekretaris atau teman, jika istri jatuh berzinah dengan atasan, teman atau sopir, atau jika pasangan kabur dengan orang lain, lalu sadar dan kembali, maka harus diterima dan tidak boleh diceraikan, karena mereka jatuh dalam dosa, mereka jatuh dalam ‘zinah' dan bukan melakukan ‘percabulan'.

Sebaliknya jika pasangan Anda benar-benar sudah melakukan percabulan, menjadi pelacur, germo, gigolo, incest, melakukan hubungan seks dengan binatang, homo, lesbi dan merasa itu hal biasa saja, tidak menyesal, tidak merasa berdosa, maka dia sudah melakukan ‘moichao' atau ‘percabulan', dan perceraian ‘dibolehkan'. Secara hukum dan theologis dalam kondisi seperti ini ‘boleh'. Saya katakan ‘dibolehkan', namun bukan kehendak Allah yang pertama. Kehendak Allah adalah setiap orang bertobat. Jadi doakan, layani, doa dan puasa, patahkan kuasa percabulan dan perzinahan.

Demikian juga jika pasangan meninggalkan, kabur dan sudah menikah lagi dan pernikahannya sudah diteguhkan baik oleh gereja lain atau agama lain, maka ini termasuk dalam kategori sudah ‘berzinah', sudah melakukan moichao / porniea atau percabulan, karena jika mereka sudah ‘dinikahkan', maka pasti akan melakukan hubungan suami istri berkali-kali tanpa merasa dosa, sehingga bukan lagi ‘jatuh dalam dosa' tetapi hidup di dalam dosa, bahkan sudah beranak pinak.

Dalam kasus seperti di atas, menurut pemahaman saya, pasangan yang ditinggalkan boleh menikah lagi. Namun jika mau hidup selibat, itu lebih baik. Jika tidak tahan untuk memenuhi kebutuhan daging dan mau menikah, itupun boleh.

Karena itu, sebenarnya lebih baik menjaga pernikahan, memelihara pernikahan dan memulihkan pernikahan. Perceraian walaupun memenuhi persyaratan theologis, tetapi bukanlah kehendak Allah. Seperti bangsa Israel yang meminta raja, Allah ijinkan, tetapi itu bukan kehendak Allah pada mulanya. Kehendak Allah adalah pemulihan. Tuhan Yesus mengatakan perceraian itu diijinkan karena kedegilan hati manusia, itupun dengan persyaratan yang sudah dibahas di atas.

 

Recommended Article :

Sumber : Pernikahan by Jarot Wijanarko
Halaman :
1

Ikuti Kami