Uang Belanja Kok Dijatah

Marriage / 23 July 2008

Kalangan Sendiri

Uang Belanja Kok Dijatah

Purnama Sari Dewi Gultom Official Writer
6163

Linda, sebut saja begitu, sudah 3 tahun menikah. Namun, sejak menikah hingga sekarang ia tak pernah tahu berapa besar gaji suaminya setiap bulan. "Saya cuma dikasih uang belanja setiap minggu Rp 150.000,-. Pinter-pinternya saya deh, gimana ngaturnya," tutur wanita 32 tahun ini.

Sebenarnya, persoalan uang belanja yang dijatah ini, menurut psikolog Widyarto Adi, Psi, lebih disebabkan tak adanya kedudukan yang setara antara suami dan istri. "Suami tak percaya kalau istrinya mampu mengelola keuangan keluarga sehingga ia berpikir istrinya tak perlu tahu berapa besar gajinya dan untuk keperluan sehari-hari keluarga si istri dijatah, yang besarnya uang sudah ditentukan oleh suami," katanya.

\"\"Itulah mengapa Widyarto menekankan, kesetaraan suami-istri sangat mutlak diperlukan agar pengelolaan keuangan di dalam keluarga menjadi lebih mudah. "Biasanya istri yang akan ditunjuk sebagai 'menteri keuangan' keluarga yang bertanggung jawab dalam mengelola gaji suami. Tentu dilakukannya secara terbuka dan transparan oleh suami maupun istri pada saat mengelolanya," paparnya. Dengan demikian, istri harus tahu berapa besar gaji maupun hasil sampingan suaminya.

Kendati istri adalah "menteri keuangan", namun dalam pengelolaannya, menurut Widyarto, seyogyanya suami juga dilibatkan. "Tapi tentu tak terlibat dalam semua hal," tukasnya. Misalnya, suami dapat dilibatkan dalam menentukan ke mana sofa di ruang tamu akan direparasi karena kebetulan si suami lebih mengetahui tempat reparasi sofa yang lebih murah.

"Kalaupun suami enggak mau dilibatkan atau melibatkan diri, ya enggak apa-apa. Yang penting istri selalu terbuka terhadap keterlibatan suami," ujarnya.

Sistem Satu Pundi

\"\"Adapun mengenai sistem pengelolaan keuangan dalam keluarga, menurut Widyarto, bisa dipilih sistem satu pundi atau dua pundi. Tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Pada sistem satu pundi, terang Widyarto, penghasilan istri dan suami dijadikan satu. Dengan demikian, pengeluaran jadi lebih terkontrol karena suami dan istri sama-sama mengetahui sehingga dapat saling mengingatkan.

Menurut Widyarto, sistem satu pundi lebih tepat digunakan oleh suami-istri yang penghasilannya relatif masih sedikit atau si istri tak bekerja. Dengan begitu, pengelolaan keuangannya dapat diserahkan kepada istri atau bisa juga suami yang langsung mengelola dan istri pun tahu penggunaan uang tersebut. "Tapi sebaiknya sih pengelolaan uang diserahkan kepada istri saja kalau istrinya tak bekerja. Soalnya, para suami umumnya jarang sekali mau memikirkan hal-hal sepele dalam masalah pengeluaran keluarga," tuturnya.

\"\"Bagi suami-istri yang sama-sama bekerja dengan penghasilan relatif mencukupi, akan lebih ideal bila digunakan sistem dua pundi karena masing-masing pihak akan lebih leluasa untuk mengelola sendiri uang pendapatannya. Bukankah masing-masing punya pundi sendiri?

"Tapi tentu dengan tak meninggalkan kesetaraan, ya," pesan Widyarto seraya melanjutkan, "karena kesetaraan adalah manifestasi gejala penghargaan dari masing-masing pihak kepada pasangannya." Yang perlu diingat, pada sistem dua pundi siapa pun yang lebih besar penghasilannya, tanpa terkecuali, akan menanggung keuangan keluarga lebih besar dari pasangannya.

"Jadi, kalau suami gajinya lebih besar, ia dapat menanggung biaya pengeluaran yang besar-besar, seperti rekening telepon, asuransi mobil, uang pangkal masuk sekolah anak-anak, perbaikan rumah dan sebagainya. Sedangkan istri yang membayar iuran sekolah anak, belanja sehari-hari, maupun gaji pembantu." Begitu pula sebaliknya kalau istri yang lebih besar penghasilannya.

Sumber : kompas.com
Halaman :
1

Ikuti Kami