Keluarga Commuting (1)

Marriage / 19 April 2008

Kalangan Sendiri

Keluarga Commuting (1)

Fifi Official Writer
4628
Anda tinggal jauh dari tempat kerja? Tak punya waktu buat keluarga serta lelah dan jenuh di perjalanan, pasti menjadi bagian dari hidup anda sehari-hari. Bagaimana menyikapi keadaan ini secara positif?

Saat ini keluarga dengan pasangan yang sama-sama bekerja dan tempat kerja yang jauh sudah bukan hal yang luar biasa. Pagi-pagi sekali sebelum ke tempat kerja masih harus mengantar anak sekolah, pulang dari kantor masih harus menjemput anak dan menghadapi kemacetan, belum lagi harus memikirkan alternatif lain jika harus lembur. Sungguh sebuah kehidupan unik yang dialami sebagian besar keluarga muda saat ini. Jika anda mengalaminya, pasti ada juga rasa kesal dan jenuh. Lalu, bagaimana mencari solusi agar bisa keluar dari rasa kesal dan jenuh ini?

Istri harus tinggal di rumah?
Pasangan muda pasti punya pertimbangan memilih lokasi rumah di pinggir kota. Umumnya, karena keterbatasan dana, atau karena ingin mandiri dan tinggal di lingkungan yang hijau. Ada yang terlanjur cinta kawasan rumahnya, atau, rumah yang sekarang dekat dengan rumah mertua dan orang tua.

Fenomena tempat tinggal yang jauh dari tempat kerja ini dibarengi pula dengan besarnya jumlah ibu yang bekerja. Di Indonesia, pada tahun 1996 tercatat sekitar 37,7% wanita ikut menggulirkan roda perekonomian di perkotaan. Ini menurut catatan kantor Menteri Urusan Peranan Wanita dalam Profil kedudukan dan Peranan Wanita Indonesia terbitan 1997. Lalu, dengan keterlibatan ibu di luar rumah, bagaimana dengan keluarganya? Beberapa keluarga mengatasi masalah minimnya waktu bagi keluarga dengan mendorong istri berhenti bekerja. Apakah ini sebuah jalan keluar?

Dra. Yudiana Ratnasari , psikolog klinis dari Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, tidak sepakat dengan hal ini. Ia justru menilai kondisi keluarga pelaju ini secara positif. Karena, menurutnya, perempuan masa kini membutuhkan sarana untuk mengaplikasikan pendidikan tinggi yang mereka raih. Penelitian juga menunjukkan, ibu yang bekerja memberi dampak positif bagi anak-anaknya. Pernyataan ini didukung oleh Eileen Rachman , Direktur EXPERD, sebuah lembaga Sumber Daya Manusia. Ia menggarisbawahi kecilnya kemungkinan keluarga masa kini hidup dari single bread winner (baca: gaji suami).

Menjalani saat-saat Jenuh
Yudiana sangat optimis para pasangan muda sekarang cukup komunikatif dalam mengelola masalah mereka. "Mereka tahu apa yang mereka mau. Saling mengungkapkan keinginan dan tahu kapan harus melakukan kompromi," kata dosen psikologi, ibu tiga anak yang juga bagian dari keluarga pelaju ini. Keadaan ini akan mempermudah pemecahan masalah di dalam keluarga pelaju ini.

Berdasarkan studinya mengenai kebiasaan para pelaju, Patricia Mokhtarian , profesor di bidang teknik sipil dan lingkungan di University of California , Amerika Serikat, menyatakan bahwa saat berangkat atau pulang kantor merupakan zona pribadi yang biasanya dinikmati dengan mendengarkan musik, membaca atau mengobrol dengan pasangan ataupun anak ketika bersama berangkat ke sekolah, berangkat kerja dan juga pulang kerja. Jadi, menurutnya, perjalanan jauh itu justru bermanfaat bagi sebuah keluarga.

Anak, korban keluarga pelaju?
Tinggal di pinggiran kota tidak selalu nyaman. Kemacetan kian parah. Tak cuma soal proyek pembangunan jalan yang membuat waktu tempuh kantor-rumah jadi dua kali lipat, namun juga jumlah para pelaju cukup besar. Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1995 dari Biro Pusat Statistik, terjadi perpindahan sebanyak 356,7 ribu penduduk Jakarta ke wilayah Botabek (Bogor-Tangerang-Bekasi). Sebagian besar dari para penduduk ini tinggal di Botabek namun beraktivitas di Jakarta.

Lamanya waktu perjalanan dari dan ke kantor membuat waktu untuk anak jadi sedikit. Tepatkah bila dikatakan anak korban pilihan Anda berdua untuk bekerja dan tinggal di pinggiran kota? Untuk memahami apa yang dialami anak, orang tua memang perlu mengetahui kebutuhannya. Menurut Yudiana, pada dasarnya anak membutuhkan rasa aman. Melalui rutinitasnya sehari-hari akan terbentuk rasa aman tersebut. Jika rasa amannya terusik, misalnya, anak-anak biasanya dititipkan ke rumah nenek kemudian karena harus sekolah jadi tidak dititipkan lagi, ini dapat membuat anak tidak merasa aman dan jadi rewel. Untuk itu, anak perlu dipersiapkan menghadapi rutinitas baru ketika terjadi perubahan.

Tulisan ini akan bersambung ke artikel "Husband and Wife" selanjutnya.

Halaman :
1

Ikuti Kami