Balai Impian Dalhing Hutasoit

Entrepreneurship / 7 February 2008

Kalangan Sendiri

Balai Impian Dalhing Hutasoit

Lestari99 Official Writer
5555

Sembilan tahun hidup di tengah kepungan sampah membuat Dalhing Hutasoit berpikir soal pemberdayaan. Sederhana saja, sebuah bangunan serbaguna sebagai tempat belajar, berlatih dan pusat pelayanan kesehatan warga. Itu impiannya. Sore menjelang di daerah Kampung Sawah, Cilincing, Jakarta Utara. Angin petang bertiup sedikit kencang. Bau anyir sampah merambat di udara, menggoda lalat-lalat hijau mendatanginya. Suara mereka mendengung, seperti sepasukan pesawat tempur.

Sejauh penglihatan hanya ada tumpukan sampah, got mampat berbau dan tubuh-tubuh renta. Asap tebal dari sampah yang dibakar membumbung ke udara, menyesakkan pernafasan. Pemandangan ini saban hari tersaji hampir di seluruh wilayah Cilincing. 

Tidak Bisa Memilih 

Kalau boleh memilih, kata Dalhing, dia tidak akan tinggal di kompleks pembuangan sampah di Cilincing itu. Tapi apa hendak dikata? Jakarta sulit memberi dia pilihan. "Terpaksa di sinilah," ujarnya pasrah. Bagi Dalhing terlanjur layar terkembang, pantang langkah disurutkan. Keputusan merantau mestilah ditanggung konsekuensinya. Situasi hidup yang sulit mesti disiasati. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga bagi warga di mana dia tinggal.

InspirasiMantan guru ini tergerak memberdayakan masyarakat, para pengumpul sampah. Pendidikan dan ketrampilan yang terbatas, kata Dalhing, menyebabkan mereka bergantung kepada sampah. Dalhing ingin taraf hidup para pemulung meningkat. Terutama, Dalhing ingin anak-anak para pemulung itu dapat mengecap pendidikan, meski hanya sekadar baca-tulis. "Orang tua mereka tidak melarang. Malah anak-anak diajak membantu mereka memulung sampah," ujar Dalhing. Kerut di wajahnya tampak jelas.

Tahun 1999 Dalhing memprakarsai pembangunan Balai Impian. Bangunan ini diharapkannya menjadi tempat warga berlatih ketrampilan. Tapi alih-alih didukung. Justru penolakan dengan isu kristenisasi yang didapat Dalhing. Situasi yang sulit bagi ayah enam anak itu. Tetapi dia tidak kehabisan akal. Beragam cara ditempuh, termasuk pendekatan dari rumah ke rumah. Dari sana dia menjelaskan cita-citanya membangun Balai Impian. Tiga tahun barulah cara pandang warga sedikit berubah.

Modal Terbatas 

Alumnus IKIP Medan ini kemudian menggandeng lembaga Pengembangan Kesehatan Masyarakat (PKM) untuk memberikan penyuluhan kesehatan dan pengobatan gratis. Kepada anak-anak diajarkan cara menjaga kebersihan tubuh agar terhindar dari penyakit, sesuatu yang sangat mendesak di kawasan pembuangan sampah seperti itu. Melihat Dalhing giat melakukan penyuluhan, warga tergerak. Mereka berbalik, mendukung Dalhing dengan antusias. Kini, setiap pagi di Balai Impian itu, suami Lendi Nurhayati disibukkan dengan mengajar anak-anak berusia TK-SD. Atas referensinya lebih dari 100 anak menjadi anak asuh Harvest dan GBI Kampung Cacing. Dua institusi ini sangat aktif menyokong kegiatan Dalhing.

Sore datang, gantian ibu-ibu yang belajar berbagai ketrampilan seperti menjahit, membuat keset dan keranjang. Hasilnya dijual untuk kebutuhan rumah tangga. Bahan baku diperoleh dari daur ulang sampah di tempat mereka. Namun modal dan kemampuan memasarkan hasil kerajinan terbatas membuat semangat warga agak kendur. Beberapa kali Dalhing minta suntikan dana dari para donatur. Hasilnya nihil. "Inilah persoalan yang kami hadapi. Tidak sedikit warga yang jenuh menunggu. Akhirnya mereka kembali memulung," jelas Dalhing prihatin. Tapi Dalhing tetap optimis. Ia yakin kemiskinan bukan merupakan nasib. Kebijakan dan sistem sosial ekonomilah yang membuat akses mereka untuk hidup layak tertutup. Semangat Dalhing tidak padam. Setidaknya Balai Impian telah kokoh berdiri, dalam hati warga.

Sumber : bahana
Halaman :
1

Ikuti Kami