Sex In The

Internasional / 6 January 2008

Kalangan Sendiri

Sex In The "Kost"

yosefel Official Writer
35028
Pertemuan singkat setahun silam itu terasa janggal. Tetapi rembang petang akhir Agustus lalu saya bertemu Tom (nama disamarkan) lagi di ujung koridor Malioboro Mall di pusat kota Yogyakarta. Sore itu dia bersandar di tembok menyilangkan kakinya sambil merokok. Nama Tom terekam dalam memori saya ketika tanpa sengaja kami bertemu di salah satu susteran di selatan Yogyakarta. Wajahnya teramat garing ketika itu.

Melakukan investigasi tempat penampungan mahasiswi yang hamil akibat "tabrakan" membawa saya ke sana. Tapi mana mau para biarawati itu diwawancarai? Bahkan saya diwanti-wanti supaya jangan diekspose. "Bukan mau menutup diri, tetapi takut banyak yang datang. Kami belum terlalu siap," jelas seorang suster. Lalu Tom keluar. Saya mengejarnya sampai ia duduk di bawah rindang pohon-pohon cemara. Feeling saja akan dapat cerita dari dia! Barangkali kelewat kalutnya, sebentar saja ia telah bercerita tentang beragam hal. Sedikit-sedikit nyerempet juga perihal praktik 'bapak-ibu' yang sudah mereka lakukan. Terasa janggal karena kami baru ketemu. "Saya pikir Anda dulu romo," ujarnya ketawa.

TidaK Ketat

Tom ini anak Jakarta. Rambutnya dibikin gimbal. Meski begitu badannya wangi. Ia mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, penggerak Persatuan Mahasiswa Kristen di kampusnya, dan anggota komunitas band di salah satu gereja. Sementara Maya (juga disamarkan) mahasiswi sebuah akademi perhotelan. Mereka bertemu dalam suatu pentas musik. Telepon, sms, janjian ketemu, makan bareng, dempel-dempelan di atas motor, demikianlah Tom dan Maya mengikuti tren anak muda di Yogyakarta. Apa yang mereka lakukan tidak istimewa. Pemandangan itu saban hari gampang kita temukan di jalan-jalan di kota budaya ini. Apalagi malam Minggu. "Dua bulan pacaran kami sudah begituan," ujar Tom. "Begituan apa?" tanya saya ingin kejelasan. "Ya, ngeseks lah. Mau apa lagi," Tom tersenyum masam.

Tetapi itu bukan yang pertama. Tom mengaku sudah berganti pasangan dua kali. Dan, semua berakhir dengan begituan. "Abis mo gimana ya Pak. Teman-teman satu kost pada masukin ceweknya semua ke kamar. Yang ngawasi ndak ada. Pokoknya sama-sama dewasalah," ujarnya. Waktu itu Tom indekost di seputaran ring road utara Yogyakarta. Setelah dua tahun melakukan praktik 'bapak-ibu', suatu hari Maya mengaku telah berbadan dua. Takut malu ketahuan teman-teman dan orang tua, mereka datang ke susteran itu. Toh akhirnya mereka dinikahkan juga. "Gue jadi ayah sekarang, he-he-he," cengengesan Tom pada saya sore itu.

Pelayanan Tapi Begituan

Rudi (25) lain lagi. Cowok keren yang sedang menyusun tesis S2-nya di salah satu PTN di Yogyakarta itu kini seperti berada di persimpangan jalan. Setia kepada kekasih atau terus mengumbar nafsu dengan Rina-sebut saja begitu-sang mantan pacar? Segala bentuk pelayanan Rudi pada sebuah gereja karismatik di Yogyakarta seperti tak berarti. Nafsu telah menguasainya. "Saya tahu itu dosa, tapi setiap kali dia datang kami terus melakukan perbuatan itu," ujarnya kepada Bahana.

Rudi mestinya menunjukkan teladan bagi orang-orang muda yang dia bina dalam sebuah kelompok sel. Dia juga harus menunjukkan tanggung jawab kepada kekasihnya, teman satu gereja, yang telah serius ia pacari sejak tahun 2004. Bahkan hubungan mereka telah disetujui oleh orangtua masing-masing. Tinggal tesis diselesaikan dan mereka akan menikah. Tidak hanya sekali Rudi dan Rina berhubungan intim. Di kost, hotel, tempat wisata, pokoknya di mana saja mereka bisa melakukannya dengan aman. "Saya sekarang bingung milih yang mana. Saya sayang sama pacar saya. Saya gak mau putus. Saya tahu dia yang terbaik untuk saya. Tapi saya harus mempertang-gungjawabkan perbuatan saya ke Rina walaupun dia tidak hamil. Saya khilaf, Kak. Saya tidak suka Rina. Tapi saya tidak tahu, kalau dekat dia, saya pengennya begituan," ujar Rudi terus-terang.

Kisah lain adalah Agustina (24), aktivis gereja dan mahasiswi Fakultas Psikologi sebuah PTS di Solo. Ia kini tengah hamil 3 bulan tetapi diting-galkan pacarnya. Mereka melakukan pertama kali di Kopeng saat Agustina ulang tahun. Setelah kejadian di Kopeng itu minimal seminggu sekali mereka begituan. Tidak peduli di kost, di WC umum, atau hotel. "Tetapi seringnya di kost," kata Agustina. Mereka gampang melakukannya karena Agustina tanpa pengawasan orang tua. Aturan kostnya juga agak longgar walaupun ada tulisan "cowok dilarang masuk kamar". Tapi siapa yang mengawasi? Menginapkan pacar di kost hanya ditiru Agustina dari teman-temannya. "Teman-temanku yang lain juga sering memasukkan pacar mereka, nginap di situ. Jadi kami seperti tahu sama tahu. Tidak apa-apalah pikirku. Toh bikin dosanya ramai-ramai," ujarnya.

Bermula dari Kost Campur

Awal kuliah, sebut saja Ica (23), pacaran dengan Kirno, teman sekampus. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi Ica. Ia malah pindah ke tempat pacarnya yang memang kost campur. "Di situ ada saudaranya cowok dan cewek. Aku merasa lebih dekat sama keluarganya," kata Ica mengawali kisahnya. Tinggal seatap dan pacar yang 'baik' menjadi iklim kondusif bagi terjadinya hubungan yang melanggar kebenaran. "Awalnya aku melakukan hal itu karena tempat tinggal seatap yang lebih membuatku dekat dan gampang 'berbuat itu'. Kenapa aku mau aja saat diajak 'begituan', itu karena cowokku sangat baik. Sampai-sampai aku nggak bisa nolak," lanjut alumni Manajemen Perhotelan di PTS Kristen terkemuka di Surabaya ini. Meski aktif dalam pelayanan, toh Ica menganggap hal itu sudah biasa. "Saat pacaran memang kami merasa sangat bebas melakukan ini dan itu. Ya...tahulah rata-rata anak zaman sekarang, kalau pacaran pasti seperti itu. Anak yang aktif di gereja sekalipun aku jamin pasti ada yang mempunyai gaya pacaran yang tidak benar. Aku punya beberapa teman gereja yang aktif melayani, tapi sering melakukan 'pergaulan bebas' seperti itu. Contohnya, aku aja salah satu aktivis gereja. Aku pelayanan sebagai singer dan main keyboard di gereja. Tapi toh aku melakukan hal-hal yang nggak pantas," ungkapnya blak-blakan.

Bagaimana perasaan Ica saat habis melakukan itu? "Sebagai cewek, ya rasanya ada beban. Saat aku melakukan, ada suatu perasaan yang mengatakan itu salah, tidak boleh... Roh Kudus sering menegur. Tapi, nyatanya aku ulangi lagi. Aku melakukan free sex dengan pacarku sudah berkali-kali. Yang terakhir kami melakukan, baru aku hamil. Awalnya aku nggak tahu kalo hamil. Tahu-tahunya sudah 7 minggu," ujarnya sambil menerawang. Akibat kebobolan ini, Ica harus menikah dini dan cuti kuliah. Apakah Ica bahagia? "Jujur aja dalam kehidupan pernikahanku sekarang ini banyak banget mengalami masalah. Kami sering bertengkar. Dulu semasa pacaran kami sering menekan ego masing-masing," ujarnya getir.

Kepercayaan yang Disalahgunakan

Kota Salatiga nan tenang tak kalah geloranya bila bicara seks. Rini (22), mahasiswi sebuah perguruan tinggi Kristen yang terkenal dan aktivis gereja yang sudah lama pelayanan. Layaknya anak muda, ia cukup lama pacaran dengan Bagas (23). Kehidupan pacaran bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap aktif dalam pelayanan. Bahkan satu sama lain saling mendukung agar aktif di gereja masing-masing. Keluarga mereka pun memberikan kepercayaan penuh. Mereka dianggap sudah dewasa dan bisa menjaga diri. Merasa bebas dan sudah dewasa, Rini dan Bagas pun mulai 'kompromi' dalam hidupnya.

"Awalnya cuma pegang tangan, ciuman di pipi", tutur Rini. Ia merasa sudah jodoh dan nantinya juga akan menjadi pasangan. Jadi, tidak ada salahnya coba-coba. "Semua berawal dari coba-coba hal-hal kecil yang tidak terlalu berisiko," ungkap Rini. Namun, jerat dosa kecil tersebut seakan-akan seperti candu dengan zat adiktif yang membuat mereka ketagihan, ingin lagi dan lagi, dengan dosis yang selalu meningkat. Rini dan Bagas menyadari hal itu, tapi tetap kompromi. Tambahan lagi, tidak ada orang-orang di sekitar me-reka yang menasihati atau mengarahkan mereka pada pola pacaran yang sehat dan sesuai firman Tuhan. Cerita berlanjut. Dari kissing, hugging, lalu mengumbar gairah sampai berujung pada seks yang seharusnya belum boleh mereka lakukan. Terbuai dengan kenikmatan yang mereka rasakan. Sekarang Rini harus menimang bayi mungil yang baru berusia 4 bulan. Pelayanannya kini terhenti. Meskipun sudah mengakui kesalahan dan minta ampun di hadapan Tuhan, namun sering kali bayangan masa lalu dan rasa tertuduh masih muncul dan menghantui hidup mereka.
Sumber : BAHANA MAG
Halaman :
1

Ikuti Kami