Dalam Puncak Kebencian

Family / 6 August 2007

Kalangan Sendiri

Dalam Puncak Kebencian

Admin Spiritual Official Writer
11358
Kegagalan seorang ayah dalam membina rumah tangga dapat menimbulkan kebencian yang semakin memuncak di dalam diri anaknya. Ini yang dialami oleh Yoel Yani sehingga ia bertekad suatu hari nanti akan membunuh ayahnya.

Tidak terasa 10 tahun telah berlalu sejak kepergian ibu, banyak hal telah berubah. Andai saja ibu masih hidup saat ini dan menikmati saat-saat yang indah bersama keluarga. Andai saja ia dapat bertahan lebih lama melalui penderitaan yang harus ia alami.

Sejak kecil orang memanggilku Yani. Ayahku seorang militer yang tidak segan menggunakan tangannya untuk menyalurkan emosinya. Kesalahan kecil seperti terlambat pulang atau lupa menyapu, sudah cukup untuk membuatnya menghajarku habis-habisan. Yang pasti pukulan adalah menu sehari-hari dalam keluarga kami.

Sebagai anak laki-laki aku menerima perlakuan ayah sebagai sesuatu yang wajar. Laki-laki memang sepantasnya diperlakukan dengan keras. Tapi aku tidak tahan melihat ibuku sendiri diperlakukan seperti binatang. Aku melihat sendiri bagaimana semua itu membuat ibu menderita. Ia hidup dalam tekanan yang berat sampai akhirnya tergantung pada obat. Sejak itulah aku bertekad untuk membunuh ayahku.

Walau usiaku masih kanak-kanak, aku mulai mempunyai satu kebiasaan aneh. Aku suka sekali menonton film-film pembunuhan. Aku berkhayal bahwa satu hari kelak aku akan melakukan apa yang ditunjukkan dalam film-film itu. Aku berkhayal menjadi seorang pembunuh berdarah dingin.

Menginjak SMP aku mulai mempelajari ilmu bela diri dan hipnotis. Saat di SMA aku telah mampu menjadi pelatih pencak silat. Perlahan tapi pasti aku sedang membangunkan monster dalam diriku. Begitu aku lulus SMA dan bisa membiayai hidupku sendiri, rencanaku menjadi pembunuh akan segera terwujud. Membayangkan saja rencana itu sudah membuatku merasa bergairah. Dengan semua yang pernah dibuat ayah kepada ibu, aku sama sekali tidak merasa bersalah. Akhirnya waktu yang kunantikan itu semakin dekat.

Tahun 1988 aku lulus dari SMA dan aku pergi ke Jakarta selama seminggu untuk mendaftarkan diri ke sebuah sekolah tinggi. Sesampainya di Jakarta aku diajak kakakku untuk pergi ke sebuah persekutuan. Sesampainya disana aku merasakan suatu suasana yang berbeda. Ketika berdoa, salah satu dari pemuda yang mengikuti ibadah itu mendatangiku dan menyampaikan Firman Tuhan yang mengatakan padaku : "Jangan keraskan hatimu karena hari ini adalah hari keselamatan bagimu!, Yesus sedang menunggu dan mengetuk pintu hatimu untuk menjadi Tuhan dan Raja bagi kehidupanmu!."

Aku seperti orang yang sedang ditelanjangi. Saat itu aku merasakan bagaimana Tuhan mengungkapkan pikiranku bahwa aku adalah orang jahat yang akan membunuh ayahku sendiri. Aku tidak dapat bertahan dihadapan pernyataan Firman Tuhan, aku takluk. Aku mengambil keputusan untuk bertobat di hadapan Tuhan dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan raja dalam kehidupanku. Sesuatu yang indah terjadi saat aku merasakan turunnya damai sejahtera dan sukacita yang tidak pernah aku alami sebelumnya.

Beberapa bulan kemudian setelah pulang dari Jakarta, aku terus bertumbuh dalam iman dan mulai memberanikan diri untuk mengunjungi ayah. Saat aku bertemu dengan ayah, aku berusaha untuk mengajak berbicara secara pribadi. Aku mengutarakan kejahatan hatiku dan aku mengungkapkan bahwa aku sesungguhnya berencana untuk membunuh ayah. Tapi aku menceritakan bagaimana Tuhan menjamah hatiku. Aku mulai bertobat dan mengambil keputusan untuk mengampuni ayah.

Saat itu aku minta ayah untuk mau mengampuni diriku. Setelah itu kami saling berpelukan dan kami saling menangis. Disitu aku merasakan seperti ada tembok yang hancur. Tembok kepahitan dan dendam itu hancur. Aku merasakan sebuah hati bapa memenuhi diriku.

Setelah peristiwa itu ayah tidak langsung berubah. Ia masih sama seperti yang dulu, sekalipun hari itu aku sendiri mengalami terobosan yang sangat berarti. Aku sendiri masih membutuhkan proses selama dua tahun untuk dapat mengampuninya secara total. Tahun 1993 ibu meninggal setelah sekian tahun menjalani hari-hari penuh derita. Ayahku sendiri bertobat tahun 2001 setelah dilayani oleh dua orang kakakku.

Satu keharuan kurasakan saat ayahku menyesali apa yang telah terjadi. Saat ayah menyesali mengapa tidak sejak dulu ia mengenal Tuhan?. Jikalau ia mengenal kasih Yesus maka ibuku tidak akan mengalami semua derita hingga akhir hayatnya. Namun kukatakan pada ayahku agar ia melupakan segala sesuatu yang telah berlalu. Saat ini kami telah memiliki Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat sehingga kehidupan yang akan datang kami yakini akan menjadi sesuatu yang lebih baik.

Walaupun apa yang telah terjadi tidak dapat dihapuskan, tapi aku dan keluargaku telah memilih sesuatu yang baru dalam kehidupan keluarga kami yaitu hidup dalam pengampunan dan kedamaian dalam Tuhan Yesus Kristus. (Kisah ini telah ditayangkan 20 Maret 2003 dalam acara Solusi di SCTV).

 

Sumber Kesaksian:
Yoel Yani
Sumber : Yoel Yani
Halaman :
1

Ikuti Kami