Tempat Ibadah Umat Kristen di Bandung Dirusak?

Internasional / 6 July 2007

Kalangan Sendiri

Tempat Ibadah Umat Kristen di Bandung Dirusak?

Rosphyta Official Writer
37430

Minggu, 15 Juni lalu, terjadi aksi penyerbuan, perusakan, disertai penganiayaan terhadap rumah Pendeta Robby Eliza yang digunakan sebagai tempat ibadah di Kompleks Gading Tutuka I Blok F1 No. 12 A, Desa Cingcin, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung. Didasarkan peristiwa itu, tim penyidik Polres Bandung menetapkan pemimpin Badan Anti Pemurtadan (BAP) Kabupaten Bandung, Mumin, sebagai tersangka. Namun dia dijerat bukan dalam kasus tindakan perusakan rumah ibadah, tapi dalam kasus tindakan kriminal penganiayaan.

Robby Elisa, gembala sidang Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) tersebut, mengatakan bahwa ada sekitar 100 umat non-Kristen yang menyerang tempat mereka tatkala ibadah Minggu sedang berlangsung. Menurut keterangannya, istrinya sendiri mengalami pemukulan, sementara empat mosaik kaca bergambar Yesus telah hancur. "Mereka datang dan memaksa masuk ke dalam gereja," katanya. "Para penyerang mengaku berasal dari Persatuan Gerakan Anti Murtad. Kelompok ini yang juga menyerang sebuah gereja di tahun 2005."

Menurut Elisa, gereja yang dikelolanya sangat kecil dan hanya terdiri dari kongregasi 20 orang dewasa, 40 remaja dan anak-anak. "Kemana lagi kita akan beribadah? Gereja terdekat ada di kota yang terlalu jauh letaknya, sementara umat di sini perlu tempat untuk beribadah."

Di Jawa Barat selama ini memang telah berulang kali terjadi aksi perusakan terhadap rumah ibadah umat Kristen. Sejak 2004, lebih dari 30 gereja telah ditutup paksa di daerah ini. Di daerah-daerah seputar Jakarta, peristiwa yang serupa pun telah beberapa kali terjadi. Inilah yang mengherankan. Padahal, konstitusi negara berdasar Pancasila ini jelas menjamin bahwa kebebasan beribadah adalah hak asasi setiap orang. Hanya saja, untuk menggunakan suatu tempat sebagai rumah ibadah, ada peraturan tersendiri, yakni Peraturan Dua Menteri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 (Perber 2006). Namun, jika suatu tempat yang digunakan sebagai rumah ibadah belum memiliki izin resmi, bukan berarti warga masyarakat lain berwenang membubarkan apalagi merusak tempat tersebut.

Menurut anggota Majelis Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (KPS) Bandung, Hamonang Saragih SH, yang juga pimpinan Kantor Pengacara Monang Saragih SH, "Perusakan terhadap rumah ibadah baik yang mempunyai izin atau tidak harus ditindak tegas. Karena, jika pemilik rumah dianggap bersalah telah menjadikan rumah tinggal sebagai tempat ibadah, bukan harus dirusak, tapi diajukan ke pengadilan. Jika ada yang telah merusaknya, itu arogan dan wajib dituntut telah melakukan tindakan kriminalitas murni," tegasnya. Menurut dia, jika umat yang beribadah itu tidak mempunyai izin menggunakan tempat tersebut sebagai rumah ibadah, harus ditanyakan ke Dinas Kimtawil. "Jika benar bersalah bukan lantas dirusak, tapi tuntut secara hukum di pengadilan," tambahnya. Pendeta Simon Timorason, Ketua Forum Komunikasi Kristiani Jawa Barat, dalam wawancaranya dengan Radio Nederland, mengatakan demikian. "Saat itu sedang dilakukan pembinaan anak-anak Sekolah Minggu. Pada saat lagi terjadi pembinaan, datang sekelompok masa dari Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) berjumlah kurang lebih 56 orang. Mereka masuk ke dalam rumah, kemudian mengacak-acak tempat. Anak-anak mengalami trauma, karena jumlah masa yang cukup lumayan. Dan kemudian mereka mengobrak-abrik rumah pendeta dan kepala ibu pendeta dipukul. Alkitab juga diambil, dibanting, gambar-gambar Yesus dibanting. Dan ada satu anak remaja yang ditendang. Anak remaja itu disuruh meludahi Alkitab dan kemudian disuruh menyangkal Yesus, iman dan kepercayaan anak itu. Tapi anak kecil tersebut tidak mau. Hari ini (Senin, 4 Juni-red) kami ada pertemuan di Polres Bandung dan diadakan pembicaraan-pembicaraan. Ibu yang kena pukul sudah melaporkan ke kepolisian buat berita acara dan sudah dibuatkan visum dokter juga. Mereka melakukan tuntutan supaya diambil tindakan hukum atas kejadian ini. "Waktu kejadian itu aparat kepolisian ada, aparat militer juga ada. Dan aparat desa juga ada. Tapi mereka tidak melakukan suatu tindakan pencegahan. Mereka hanya menyaksikan saja. RT juga yang mengadukan masalah ini.

Sumber : Reformata
Halaman :
1

Ikuti Kami