Serbuan Produk Impor, Bagaimana Mengatasinya?

Nasional / 12 December 2005

Kalangan Sendiri

Serbuan Produk Impor, Bagaimana Mengatasinya?

Puji Astuti Official Writer
12180
JAWABAN.com - Globalisasi dan pasar bebas memang tak dapat dicegah. Namun akibatnya, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia. Coba saja berkunjung ke berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta, mulai dari trade center untuk masyarakat umum sampai mal-mal untuk kelas menengah dan atas. Semuanya dipenuhi produk asing. Bahkan kini, sampai ke pasar-pasar tradisional pun, produk impor misalnya dari Tiongkok, banyak memenuhi rak-rak para pedagang. Lebih hebat lagi, para pedagangnya pun ada yang langsung berasal dari Tiongkok. Hanya bisa satu-dua kata bahasa Indonesia, para pedagang dari Tiongkok itu lebih mengandalkan kalkulator untuk memberi tahu harga barang dagangannya.

Di pusat perbelanjaan, produk asal Amerika dan Eropa, juga memenuhi hampir seluruh area perdagangan yang ada. Mulai dari produk kosmetika, busana dan aksesorinya, tas, sepatu, bahkan sampai produk-produk perawatan kesehatan. Mengenai hal ini, salah satu pengusaha kosmetika Indonesia terkemuka, Dr Martha Tilaar, pernah mengeluh. Dia bercerita, produk kosmetika yang dibuatnya susah sekali masuk ke mal-mal kelas menengah dan atas. Alasannya sungguh menyakitkan. "Bu, produk ibu 'kan produk lokal. Sedangkan di sini kami hanya menjual produk-produk yang bermutu tinggi," begitu kira-kira alasan yang pernah didengarnya dari sejumlah pengelola pusat perbelanjaan. Seolah-olah produk lokal tidak bermutu tinggi. Menyakitkan, namun justru memacu Martha Tilaar untuk terus berinovasi menghasilkan produk bermutu tinggi yang tak kalah dengan produk-produk asing, termasuk produk dari pusat-pusat kecantikan di dunia, seperti dari Prancis dan Jepang.

Bukan hanya itu. Makanan-makanan dan minuman impor juga semakin membanjiri pasaran Indonesia. Mulai dari makanan cepat saji sampai makanan ringan, bahkan makanan dan minuman yang dikemas dalam plastik atau kaleng. Mengenai hal ini, Johnny Andrean, seorang penata rias rambut yang belakangan juga merambah ke jasa boga, mempunyai pengalaman unik. Saat dia menciptakan donat dengan merek J.Co, banyak yang menyangka bahwa produk itu adalah franchise dari luar negeri, seperti juga produk roti dan kue BreadTalk yang asal Singapura. Ternyata donat-donat J.Co diciptakan sendiri oleh tim-nya Johnny Andrean. Walaupun produk lokal, ternyata keberadaan donat-donat tersebut mampu bersaing dengan beragam merek donat dari luar negeri. Tentu saja tak banyak yang berhasil seperti Johnny Andrean. Semakin gencarnya produk impor yang masuk ke Indonesia, telah membuat banyak pihak yang kalang kabut. Para perajin sepatu Cibaduyut, Bandung, misalnya. Mereka mengakui, sepatu-sepatu impor yang berkualitas tinggi dengan harga bersaing, membuat produk mereka agak terganggu. Untuk mengatasinya, mereka mencoba membuat sepatu yang mutunya tak kalah bagus dengan produk impor. Bahkan beberapa merk sepatu-sepatu itu dibuat dengan nama-nama asing.

Gencarnya produk-produk impor yang menyerbu Indonesia membuat cukup membuat khawatir banyak pihak. Padahal, Indonesia harus mampu menciptakan infrastruktur yang memadai guna mengantisipasi serbuan produk-produk impor demi menjaga ketahanan ekonomi nasional. Persoalan itu harus menjadi perhatian di tengah membanjirnya produk-produk impor di Tanah Air yang menghantam produk lokal. Hal itu disampaikan ekonom dari CSIS Pande Radja Silalahi dalam percakapan dengan SP. Dikatakannya, untuk ketahanan nasional menghadapi serbuan impor, perlu diletakkan persoalan mendasar, seharusnya total ekspor Indonesia lebih besar dari impor. Seharusnya Indonesia menyerbu pasar negara lain, bukan sebaliknya. "Sebenarnya kita mampu lebih banyak menyerbu negara lain, tetapi kenapa itu tidak dilakukan? Daripada diserbu, semestinya kita menyerbu duluan. Di Tanah Air, produk negara lain menjamur, terutama produk Tiongkok yang menyerbu dan menguasai pasar Indonesia," ujarnya.

Belum lagi produk dari beberapa negara lain khususnya Asia. Sekarang ini neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok defisit. Tekstil dan produk tekstil Indonesia sudah digerogoti. Jangankan di pasar internasional, di pasar domestik saja Indonesia sudah dihabisi. Karena memang ada kelemahan industri di Indonesia. Fakta lainnya, daya saing Indonesia lemah. Tidak mampu berkompetisi. "Karena itu kita harus terus berupaya meningkatkan produktivitas. Masalah lain, mengurus perizinan saja di negara kita masih sangat lama. Belum lagi infrastruktur yang tidak memadai. Juga, soal perburuhan yang masih mencekam," kata dia. Masih ada anggapan membela buruh sama dengan membela ekonomi Indonesia. Padahal, jika ingin ada ketahanan nasional di bidang ekonomi terutama ketahanan menghadapi serbuan produk impor, maka berilah bisnis kondusif kepada pelaku usaha. Sebenarnya, masalah perburuhan yang masih mencekam justru akan memberi kesempatan produk-produk impor menguasai pasar Indonesia. Dia mengemukakan, sebenarnya tidak ada yang salah jika perdagangan eceran sebagian dikuasai perusahaan-perusahaan ritel asing. Karena jika bicara pedagang eceran, tentu berbicara soal tenaga kerja.

Pande menjelaskan, khusus tahun ini harus ada ketegasan dari pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan yang lebih menarik bagi para investor. Hal ini juga bisa mengatasi masalah pengangguran. Dikatakan, memperkecil pengangguran sampai sekarang sangat sulit. Para pengusaha tidak tertarik padat karya. Padahal usia kerja 15-60 tahun meningkat 2,1 persen per tahun. Ini dapat terjadi hingga 2011. Jika usia kerja antara 15-65 tahun itu berarti peningkatan 2,4 per tahunnya. Pengalaman sampai 2006 yang bisa diserap kira-kira satu persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), artinya tidak mungkin kita ciptakan pertumbuhan sepuluh persen, karena sekarang ini pertumbuhan ekonomi triwulan I baru enam persen. "Itu berarti kita harus serius dengan masalah pengangguran, jika tidak ingin para pedagang kecil kita tersingkir di era pasar bebas," kata dia. Menurut Pande, Indonesia seharusnya memiliki kepastian hukum, menyediakan pabrik-pabrik yang dapat menjawab kebutuhan ketenagakerjaan Indonesia, dan memperbaiki soal perizinan. Keberpihakan pemerintah kepada masalah-masalah perburuhan dengan melihat berbagai persoalan yang terjadi adalah kunci agar dapat mengantisipasi dan mengatasi serbuan produk-produk asing ke dalam negeri.

Dalam menyiapkan produk Indonesia agar bisa mampu bersaing dengan produk asing, terkesan kita terlalu memaksakan persaingan antara peritel besar dengan kecil, yang hampir tidak mungkin. Produk kecil tidak akan mampu bersaing dengan peritel besar, itu satu banding 30. "Tidak mungkin ritel kecil akan bersaing dengan teknik pemasaran profesional milik ritel modern. Ritel kecil tidak akan mampu berkompetitif. Sebaiknya kita harus fokus dengan kemampuan produk andalan Indonesia yang ada seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan sektor jasa," katanya. Jadi, lanjut dia, produk-produk dalam negeri benar-benar ditekuni mulai dari produk bahan baku, karena diyakini Indonesia masih mampu masuk pasar tradisional. "Peraturan Presiden (Perpres) yang sampai saat ini belum tuntas diselesaikan pemerintah tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap persaingan ritel tradisional dan ritel modern," kata Silalahi.

Perpres tidak akan menjanjikan apa-apa bagi persaingan produk-produk asing di Indonesia. Buktinya, hingga sekarang Perpres belum juga tuntas. Ini masalah sederhana yang justru bukan sesuatu yang baru. Izin yang begitu lama saja sudah menunjukkan hambatan bagi ketahanan nasional, apalagi sebuah Perpres yang dalam penggodokkannya butuh waktu tahunan. Padahal 65 persen ritel tradisional masih menguasai pasar Indonesia, dengan demikian produk-produk dalam negeri yang ditekuni termasuk potensi di sektor jasa dan yang menjanjikan seperti tekstil masih bisa masuk pasar tradisional. "Dengan tim ekonomi pemerintah saat ini, saya yakin masa depan Indonesia masih cerah. Karena masih terbuka kemungkinan dengan tim ekonomi yang sekarang, yang terpenting Presiden harus bisa mengambil sikap tegas. Dibutuhkan kepastian hukum," kata Pande.(fis) Sumber : sp
Halaman :
1

Ikuti Kami