Tamat Sudah Riwayat Saritem

Nasional / 1 January 2005

Kalangan Sendiri

Tamat Sudah Riwayat Saritem

Puji Astuti Official Writer
12721

JAWABAN.com - BANDUNG - Akhirnya riwayat Saritem tamat sudah. Pemerintah Kota Bandung secara resmi menutup lokalisasi pelacuran yang berada di tengah-tengah kota ini pada Rabu (18/4). Pemkot Bandung menutup Lokalisasi Saritem, yang dihuni sekitar 450 pekerja seks komersial (PSK), karena dianggap melanggar Perda No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Kebersihan dan Keindahan.

Penutupan Saritem ditandai dengan penyegelan rumah-rumah yang menjadi tempat transaksi seks tersebut. Selain memberi tanda segel tim yang dipimpin Kepala Satpol Pamong Praja (PP) Kota Bandung, Priana Wirasaputra, juga menggembok pintu rumah. Rumah yang disegel rata-rata sudah tak berpenghuni. Para wanita penghiburnya kebanyakan sudah pergi. Ada yang pulang kampung, ada pula yang pindah ke tempat lain.

Tak banyak yang tahu asal muasal Saritem sebagai daerah hitam di Kota Bandung. "Sejak saya lahir tahun 1953 Saritem ini sudah ada sebagai lokalisasi," tutur salah seorang warga, Eponi Sapiah. Yang pasti, Saritem sebagai kawasan lokalisasi di Kota Bandung ini sudah terkenal, dan bisa disejajarkan dengan Dolly yang ada di Surabaya.

Sebelum ditutup tercatat ada sekitar 450 PSK, 205 mucikari dan 428 calo. Mereka ini beroperasi di RW 07 dan RW 09 Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung. Mereka beroperasi di rumah-rumah yang ada di sejumlah gang di Saritem, sehingga keberadaan tempat penjaja cinta sesaat ini tidak terlihat mencolok.

Para PSK kebanyakan berasal dari Indramayu, Subang dan Cirebon. Mereka biasanya beroperasi sejak pukul 11.00, tapi uniknya setelah jam 24.00 kawasan Saritem justru telah tutup. Tarif mereka beragam, mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu. Untuk memuaskan hajat pria hidung belang biasanya mereka melakukannya di kamar atau bilik yang ada di rumah induk semang mereka.

Ketika Pemkot Bandung memutuskan menutup Saritem, tak ada masalah bagi PSK. Salah seorang PSK yang biasa beroperasi di Saritem, sebut saja namanya Dewi, mengaku tidak resah. "Saya bisa beralih ke tempat lainnya," tutur Dewi, asal Indramayu. Rata-rata dia melayani empat pria hidung belang setiap hari. Untuk jasanya ini Dewi memasang tarif Rp 200 ribu-Rp 300 ribu/jam.

Tapi Dewi tak mengantongi seluruh hasil keringatnya itu. Dewi masih harus menyetor ke mucikari dan calo. Menurut Dewi, penghasilan bersihnya setiap hari rata-rata hanya Rp 200 ribu.

Sektor Informal

Imbas penutupan Saritem ini justru dirasakan oleh warga yang menggantungkan hidupnya di sektor informal, seperti calo, tukang parkir hingga pedagang yang biasa mangkal di sana. "Kalau saya berhasil mendapat pelanggan, saya dapat komisi 20 persen," tutur Budi yang sehari-hari menjadi calo.

Komisi yang diperoleh Budi bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) di Kota Bandung yang besarannya sekitar Rp 900 ribu. Berkat menjadi calo ini Budi mampu bertahan hidup. Bahkan sebuah sepeda motor keluaran terbaru berhasil dibelinya meski dengan cara mencicil.

Budi sendiri tidak tahu setelah Saritem ditutup harus bekerja sebagai apa. Maklum saja, ia tak memiliki keahlian lain. Dengan ijasah SMA yang dimilikinya ternyata lamaran yang dilayangkan ke berbagai perusahaan tak terjawab.

Kerugian serupa juga dialami oleh Eponi Sapiah. Pedagang ayam goreng di salah satu gang di Saritem ini mengatakan setiap malamnya mampu mengantongi pendapatan sampai Rp 500 ribu. Pendapatan ini dipakainya untuk menghidupi keluarganya yang jumlahnya 12 orang.

"Entahlah Mas, saya tidak tahu mau jualan dimana. Kalau jualan di jalan raya tetap saja dirazia Satpol PP," keluh Eponi sembari menahan tangis. Tetapi nasib Eponi tak setragis nasib Widaningsih. Wanita berumur 61 tahun ini mengaku uangnya sebesar Rp 300 juta tak jelas rimbanya. Wanita ini sehari-harinya berprofesi sebagai tukang kredit keliling di Saritem.

Banyak penghuni Saritem yang memanfaatkan jasanya. Mulai mengkredit baju, ponsel hingga meminjam uang tunai. Pekerjaan sebagai tukang kredit ini telah dijalani Widaningsih sejak tahun 1974. Menurutnya, total kredit yang belum dikembalikan oleh penghuni Saritem ada sekitar Rp 300 juta.

"Saya tidak tahu Saritem ditutup. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Terus uang saya bagaimana?" tanya Widaningsih yang ketika ditemui SH sedang duduk merenung di sudut Gang Sopian Haris Saritem. Celakanya, Widaningsih tak pernah mengharuskan debitornya untuk menyetor agunan terlebih dulu. Karena sudah lama bergaul dengan mereka, Widaningsih sangat percaya terhadap mereka, terlebih selama ini tidak ada kreditnya yang macet.

Ibarat sebuah mata uang, penutupan Saritem ini di satu sisi memang ada yang dirugikan. Apalagi perputaran uang di Saritem bisa mencapai miliaran rupiah dalam semalam. Sekretaris Komisi C DPRD Kota Bandung, Muchsin Al Fikri, mewanti-wanti supaya Pemkot Bandung memikirkan ekses penutupan ini. Selain memikirkan nasib warga yang hidup di sektor informal, perlu pula dipikirkan supaya PSK dari Saritem tak lantas beralih menjajakan diri di jalanan di Kota Bandung.

Riwayat Saritem memang telah berakhir. Tetapi belum tentu ini solusi terbaik untuk mengatasi masalah prostitusi di Kota Bandung. Jadi biarlah waktu yang menjawabnya nanti. (nat)

Sumber : Didit Ernanto - sinarharapan.co.id
Halaman :
1

Ikuti Kami