Sepasang
suami istri yang bekerja sebagai pengusaha sekaligus penggiat berbagai
komunitas dan organisasi pendidikan, sosial, kemanusiaan menyampaikan pilihan hidup mereka untuk sepakat tidak punya anak.
Salah satu
alasan terbesar memilih hal itu adalah karena panggilan hidup mereka untuk
pendidikan dan kemanusiaan yang lebih banyak digeluti di luar ruang. Sang istri,
Reni bahkan mengaku telah berdamai dengan dirinya sendiri jika ada orang yang menilai pilihan mereka untuk tak punya anak sebagai sikap yang egois.
Dia mengaku
tiga tahun pertama pernikahan adalah masa-masa terberat bagi mereka untuk
menghadapi pandangan keluarga dan orang-orang di sekitar mereka atas pilihan itu.
“Saya tidak
mempunyai masalah dengan anak kecil. Di kegiatan gereja, saya adalah pengajar anak-anak
sekolah minggu. Kegiatan komunitas saya juga melibatkan banyak sekali anak kecil.
Namun, untuk memiliki anak di kehidupan personal kami, saya rasa tidak atau setidaknya belum,” ucap Reni.
Komentar bernada
penghakiman memang akan selalu dilempar kepada pasangan yang memutuskan untuk
tak punya anak. Hal jauh lebih parah di tengah masyarakat Indonesia yang mudah sekali
menilai orang lain dari sisi luarnya saja. Tanpa mencari tahu lebih mendalam alasan dibalik pilihan dan keputusan seseorang.
Selain
dinilai egois, ada banyak komentar negatif lain yang dilayangkan kepada pasangan
yang memilih tak punya anak. Ada yang membully dan ada juga yang menanyakan agama
pasangan. Walaupun persoalan agama seseorang tak seharusnya jadi urusan orang lain.
Pilihan untuk
tak punya anak memang bisa dilatarbelakangi oleh beragam alasan. Reni dan
suaminya, misalnya, terdorong karena panggilan hidup. Sementara pasangan lain bisa
karena latar belakang masalah keluarga, trauma, penyakit dan ketakutan pengasuhan
anak di masa depan. Alasan-alasan ini tentu saja tak lantas menjadikan pasangan yang tak punya anak sebagai sosok yang egois, bukan?
Menurut seorang pakar sosiologis Robert Reed, pasangan yang tak punya anak belum tentu lebih egois dari yang punya anak. Dia menilai jika mereka juga mementingkan orang lain, tidak cuma diri mereka sendiri. Mereka sama dengan orang kebanyakan. Hanya saja pola pikir mereka lah yang berbeda dari pola pikir masyarakat pada umumnya.
Baca Juga :
Tanpa Anak, Pria Cenderung Depresi
Setelah Hampir 8 Tahun Tanpa Anak, Akhirnya Rumah Tangga Pendeta Ini Dianugerahi Bayi Lucu
Pola pikir
inilah yang mendorong Reni dan suaminya memilih untuk mengabdikan diri bekerja bagi orang lain daripada hanya sekadar memiliki anak.
Tapi
bagaimanapun, persoalan pilihan tak ingin punya anak bagi pasangan menikah ini
masih terus jadi perdebatan. Kaum-kaum konvensional yang hidup dalam budaya,
ajaran dan tradisi tertentu tentu saja tak bisa menerima pilihan ini. Tapi bagi
mereka yang memandang alasan-alasan yang dilontarkan pasangan yang tak ingin punya
anak dari sisi positif, maka mereka akan dengan sangat paham dan lebih menghormati pilihan tersebut.
Meskipun dalam
ajaran agama Tuhan tentu saja memerintahkan manusia untuk menikah dan mempunyai
anak. Tapi akan selalu ada pasangan yang memilih untuk mengambil jejak seperti
Rasul Paulus yang hidup fokus untuk melakukan apa yang Tuhan mau atas hidupnya. Dia memang tak menikah dan tentu saja tak memilih untuk punya anak.
Satu-satunya
cara yang bisa dilakukan oleh pasangan yang tak ingin punya anak untuk meresponi
penilaian orang lain adalah dengan berdamai dengan diri sendiri. Satu-satunya
yang bisa Anda lakukan adalah dengan mengontrol diri. Jangan langsung bersikap
defensif apalagi membalas frontal ketika orang-orang menyebut kalian egois. Adalah
pilihan yang keliru jika meresponi penilaian orang lain dengan komentar bernada
menyerang.
Setidaknya kalian
tahu apa yang terbaik atas hidup kalian jika melibatkan Tuhan terlebih dahulu dalam
setiap keputusan yang diambil. Karena Dialah satu-satunya Tuhan yang memelihara
kehidupan pernikahan kalian sekalipun tanpa kehadiran anak di dalamnya.