Di sebuah kota kecil di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, mimpi tiga anak berubah menjadi mimpi buruk. Mereka bukan hanya mengalami luka fisik, tetapi juga trauma mendalam yang akan membekas selamanya.
Yang lebih mengejutkan, sosok yang seharusnya menjadi pelindung justru merusak masa depan mereka selamanya.
Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, kini menjadi sorotan atas dugaan kasus pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur.
Seragam yang Kehilangan Makna
Seorang aparat kepolisian seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan melindungi masyarakat, tetapi kasus ini justru memperlihatkan kebalikannya.
Tuduhan terhadap AKBP Fajar Widyadharma Lukman bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) angkat bicara, menegaskan bahwa kasus ini melanggar hukum, moral, dan nilai kemanusiaan.
"Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) serta Konvensi Hak Anak (KHA)," ujar Pdt. Etika Saragih, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI.
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia sejak 1990 menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan.
Namun, di Ngada, hak itu justru direnggut oleh pihak yang telah diberikan mandat sebagai penegak hukum.
Baca juga: Menghadapi Kasus Pelecehan Anak, Berikut 5 Hal yang Orang Tua Bisa Lakukan Sesuai Pesan Alkitab
PGI Desak Penegakan Hukum yang Tegas
Kasus ini bukan sekadar kejahatan individu, tetapi juga ujian atas integritas institusi penegak hukum. PGI mendesak Polri untuk mengusut tuntas kasus ini dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
“Jika hukum tidak ditegakkan dengan transparan dan tegas, ini akan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian,” tegas Pdt. Etika.
Selain itu, PGI juga meminta Kapolri untuk mengevaluasi sistem pengawasan internal agar kasus serupa tidak terulang.
“Aparat kepolisian harus menjalankan tugas dengan integritas dan profesionalisme,” tambahnya.
Kasus ini bukan hanya mengancam reputasi individu, tetapi juga meruntuhkan kredibilitas institusi yang seharusnya menjadi tumpuan masyarakat.
Luka yang Butuh Pemulihan
Di balik sorotan media, ada tiga anak yang kini harus menjalani perjalanan panjang untuk memulihkan diri. Mereka bukan hanya korban pelecehan, tetapi juga korban dari sistem yang gagal melindungi mereka.
PGI menyerukan kepada pemerintah daerah dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan pendampingan psikologis dan perlindungan penuh kepada korban.
"Korban dan keluarga mereka harus mendapatkan perlindungan maksimal agar terbebas dari tekanan dan ancaman pihak-pihak yang ingin menutupi kasus ini," ujar Pdt. Etika.
Anak-anak ini berhak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari ancaman.
Baca juga: Anak Mengalami Pelecehan Seksual?! Lakukan 5 Cara ini untuk Atasi Traumanya!
Seruan untuk Keadilan
Kasus ini menjadi peringatan bahwa kejahatan dapat terjadi di tempat yang tidak terduga oleh orang yang seharusnya dipercaya.
PGI tidak hanya mengecam tindakan pelaku, tetapi juga mengajak semua pihak untuk berperan aktif dalam memastikan keadilan bagi korban.
“Kami berdoa agar para korban diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi situasi ini,” tambah Pdt. Etika. Namun, doa saja tidak cukup.
Diperlukan langkah konkret untuk memastikan pelaku dihukum seadil-adilnya dan memberikan keadilan bagi korban.
Masa Depan yang Harus Dijaga
Anak-anak adalah harapan bangsa, dan mereka layak mendapatkan perlindungan serta masa depan yang cerah.
Kasus ini menjadi cerminan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam melindungi hak anak-anak di Indonesia.
Kini, tiga anak di Ngada harus melanjutkan hidup mereka dengan luka yang dalam. Semoga keadilan benar-benar ditegakkan, bukan hanya di ruang sidang, tetapi juga dalam kebijakan yang lebih ketat agar tak ada lagi anak yang menjadi korban.
Saatnya kita bersama-sama memastikan bahwa mereka dapat kembali tersenyum, bebas dari rasa takut dan trauma, seperti yang seharusnya mereka rasakan sejak awal.