Toxic Positivity Samakah Dengan Sikap Optimis? Begini Pandangan Alkitab…
Sumber: Phi radio

Kata Alkitab / 9 July 2022

Kalangan Sendiri

Toxic Positivity Samakah Dengan Sikap Optimis? Begini Pandangan Alkitab…

Lori Official Writer
3632

Toxic positivity diartikan sebagai segala bentuk sikap dan ucapan yang menolak atau menghindari perasaan negatif seperti kesedihan, kemarahan atau ketakutan dan memaksa seseorang untuk memiliki emosi positif.

Tanpa disadari rupanya hal ini bisa menyebabkan tekanan atau tindakan denial (mengabaikan) respon emosional yang dialami oleh seseorang. Parahnya saat seseorang mulai denial dengan perasaan yang ia alami, semua emosi yang harusnya dilampiaskan justru tertahan di dalam dan membuat seseorang seperti membohongi dirinya sendiri.

Contohnya, saat seseorang mengalami kegagalan. Seharusnya emosi naluriah yang ditunjukkan adalah sedih, kecewa atau marah. Namun toxic positivity menawarkan pandangan lain bahwa daripada sedih, kecewa dan marah, lebih baik memikirkan hal-hal yang positif atau merenungkan bahwa kegagalan itu belum tentu hal yang buruk. Pandangan positif yang toxic ini menawarkan bahwa pasti kegagalan bukan akhir dari segalanya. Hal inilah yang akhirnya memunculkan perasaan denial terhadap emosi negatif yang dialami seseorang.

 

Toxic positivity tidak sama dengan sikap optimis 

Sayangnya, toxic positivity tidak bisa disamakan dengan optimisme. Sikap optimis sendiri adalah cara pandang tentang kenyataan. Sementara toxic positivity adalah harapan palsu yang diciptakan untuk menyatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, apapun keadaannya. Tentu saja dua hal ini sangat berbeda. Karena toxic positivity sangat beracun dan merugikan karena mengabaikan respon alami seseorang.

Toxic positivity bisa dimanifestasikan melalui ucapan-ucapan seperti ‘Kamu pasti bisa.’, ‘Semangat.’, ‘Ini juga akan berakhir.’ dan sebagainya. 

 

Pandangan Alkitab soal toxic positivity

Saat sesuatu yang buruk terjadi, kita pastinya akan merasakan emosi negatif seperti sedih, marah dan kecewa. Walaupun emosi negatif ini dianggap buruk tapi nyatanya Tuhan tidak pernah membuat kesalahan saat Dia memberikan emosi tersebut kepada manusia. 

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.” (Pengkhotbah 3: 1-8)

Alkitab juga mengajarkan bahwa tak semua yang terjadi itu baik. Di Mazmur khususnya, menunjukkan kepada kita bahwa manusia merasakan berbagai macam emosi. Tuhan sendiri memiliki emosi. Tuhan merasakan cinta, kegembiraan, kemarahan, belas kasihan dan kesedihan (Yeremia 31: 3; Lukas 10: 21; Matius 21: 12; Keluaran 33: 19 dan Yohanes 11: 35). Melalui ayat-ayat ini, Tuhan sendiri tidak menyebutkan bahwa pikiran positif yang dipaksakan secara terus menerus itu sehat atau normal. Sebaliknya, kita perlu merasakan kemarahan, kesedihan dan rasa kecewa supaya kita bisa menyembuhkan dan memproses kondisi yang terjadi dengan baik secara mental.

Toxic positivity tidak memahami bahwa setiap orang harus melewati proses penyembuhan yang membutuhkan waktu. Sebagaimana seseorang yang kehilangan orang yang mereka cintai memerlukan waktu yang cukup lama untuk memproses kehilangan tersebut.

Alkitab mungkin tidak memakai istilah Toxic Positivity, tetapi di sana ada beberapa nasihat yang disampaikan untuk menanggapi situasi buruk yang dialami oleh orang lain, diantaranya:

Efesus 4: 32, Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.

Matius 6: 34, Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.

Roma 5: 3-5, Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

 

BACA HALAMAN BERIKUTNYA --->

Namun toxic positivity memanfaatkan nasihat-nasihat yang awalnya dianggap sebagai tindakan kasih atau niat yang baik menjadi kebohongan terselubung yang hanya akan menyakiti orang lain.

Alkitab juga tidak menyebutkan bahwa kemarahan, kesedihan atau kekecewaan sebagai emosi yang salah. Sebaliknya, ini adalah bagian alami dari pengalaman manusia dan jika ditangani dengan benar maka hal ini justru akan mendatangkan kebaikan. Sebagaimana Tuhan meminta kita untuk meratapi dosa (Matius 5: 4), menangisi ketidaktaatan (2 Korintus 7: 10) dan marah akan ketidakadilan (Yesaya 1: 17). Daripada meredam emosi negatif lebih baik menangis dengan mereka yang menangis (Roma 12: 15).

Walaupun mungkin kita tampaknya menyampaikan sesuatu yang baik kepada orang lain. Tapi belum tentu hal itu menjadi kebutuhan orang tersebut. “Tuhan akan menyelesaikan semuanya dan Anda akan baik-baik saja”. Atau, “Berdoalah dan Tuhan akan menyelesaikannya.” Jika Anda masih mengucapkan hal ini, mungkin mereka yang mendengarkan tidak akan merasa puas. Hal inilah yang disebutkan dalam Amsal 14: 12, “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut.”

 

Apa respon yang seharusnya kita sampaikan kepada orang yang menghadapi masa-masa sulit?

Supaya ucapan atau tindakan kita tidak dianggap sebagai toxic positivity, lakukanlah beberapa hal ini:

1. Lambat berkata-kata

Mengucapkan kata ‘Yang sabar ya’, ‘Semangat’, ‘Kamu pasti bisa.’, tidak selalu dianggap sebagai dukungan positif. Jika ternyata ada orang yang sedang menghadapi masa-masa sulit dan butuh dukungan moral, ambil waktu sejenak untuk memikirkan kata-kata yang bisa dia terima. 

Tak apa jika Anda bahkan menyampaikan kalimat yang mengakui kondisinya, namun berikan dukungan apapun yang Anda bisa lakukan.

 

2. Bagikan pengalaman serupa yang mungkin pernah Anda alami

Jika kita pernah melalui masa serupa seperti yang dialami oleh orang lain, akan lebih baik memberi dia dukungan dengan menceritakan masa-masa sulit yang dulu juga Anda alami. Apa yang Anda rasakan dan bagaimana Anda berhasil melaluinya. 

 

3. Berikan dukungan doa

Tak ada kata-kata terbaik yang membuat hati seseorang yang penuh tekanan dan kesedihan terasa lega selain doa. Mendoakan orang yang hidupnya tampak berat dan sulit adalah saluran berkat yang bisa Anda berikan. Setidaknya ada harapan yang Anda minta dari Tuhan untuk terjadi melalui kondisi yang dia sedang hadapi. 

 

4. Tawarkan dukungan

Daripada hanya mengucapkan kata-kata kosong belaka, lebih baik menawarkan orang tersebut sesuatu yang memang dia butuhkan. Mungkin saat dia sedang putus cinta, lebih baik menawarkan secangkir es krim daripada harus menghujaninya dengan kata-kata positif yang beracun. 

Percayalah bahwa rasa sedih, marah, kecewa dan takut adalah emosi yang kita butuhkan untuk mencapai kesembuhan. Kita perlu membiarkan diri kita merasakan hal tersebut sesuai dengan prosesnya.

Sumber : Gotquestions.org
Halaman :
Tampilkan per Halaman

Ikuti Kami