Sesaat setelah kasus kematian George Floyd mencuit di media
dan sosial media di berbagai belahan negara, ribuan orang mulai marah dan mengutuk tindakan empat petugas kepolisian yang menangkapnya.
Bukan hanya kaum kulit hitam Amerika, tapi bahkan warga kulit
putih dari berbagai kalangan seperti selebritis, pendeta dan politisi serta penegak HAM juga ikut dalam barisan demonstrasi.
Kematian pria 46 tahun ini pun menggerakkan para pemimpin
gereja di dunia untuk mengangkat isu rasisme di dalam ibadah gereja sebagai bentuk tindakan tegas gereja terhadap kekerasan rasial.
Gelombang penolakan tindakan kekerasan ini akhirnya
melahirkan satu bentuk gerakan solidaritas dalam Blackout Tuesday, yang
dipelopori oleh pekerja musik dunia Jamila Thomas dan Brianna Agyemang . Dimana
para pemimpin gereja dan umat Kristen juga turut berpartisipasi mendukung dan memberikan simpati terhadap kematian George Floyd.
Gerakan ini sendiri diikuti oleh Pendeta Gereja Megachuch
Houston Joel Osteen. Dia bahkan mengutip ayat dari Yohanes 13: 34 sebagai pesan
bagi semua orang. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu
saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi #BlackOutTuesday," tulis Osteen.
Bahkan Osteen sendiri ikut dalam aksi damai yang dilakukan
bersama puluhan ribu orang yang berbaris di pusat Kota Houston pada hari Selasa
lalu. Aksi ini menjadi bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan atas kematian
Floyd. Dia mengatakan bahwa dia ada di sana untuk mendukung keluarga Floyd. “Kita
semua marah, tapi saya pikir kita bisa mengubah kemarahan menjadi tindakan, bahwa kita bisa melakukan bagian kita untuk saling mengasihi,” katanya.
Baca Juga:
Artis-artis Kristen Ini Serukan Dukungan ‘Justice For George Floyd’ Atas Kasus Rasis AS
Kematian George Floyd Menimbulkan Kemarahan Warga AS, Ini yang Dilakukan Sang Adik
Hal serupa juga dilakukan oleh Pendeta Tony Evans dan John
Hagee di Texas. Mereka membagikan Mikha 6: 8 yang berisi pesan, “Hai manusia,
telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari
padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah?”
Pendeta Senior Hillsong Brian Houston di Sidney, Australia
juga memberikan dukungannya dengan menekankan bahwa Gereja Hillsong menentang
tindakan rasial karena itu dia pun memberikan dukungan untuk mengakhiri tindakan ketidakadilan terhadap ras tertentu.
Senada dengan itu, Pendeta dan Teolog Charles Stanley dan
putranya Andy Stanley, penginjil Joyce Meyer dab bahkan penyanyi rohani seperti TobyMac dan Kari Jobe ikut ambil bagian dalam Black Out Tuesday.
Gerakan solidaritas yang banyak diikuti oleh para pemimpin
gereja dan umat Kristen ini pun menjawab desakan dari Pendeta Elevation Church Steven Furtick.
Pada Minggu (31/5), Furtick menyampaikan bahwa gereja yang
diam dan tidak bertindak untuk memberikan solusi tentang rasisme adalah gereja
yang munafik. Kasus kematian George Floyd, menurutnya menjadi kesempatan besar
bagi gereja untuk buka suara dalam mengatasi masalah rasial ini. Sebagai pemimpin gereja, dia merasa Tuhan memintanya untuk membicarakan hal tersebut.
“Jika saya merayakan keragaman itu tapi tidak pernah
mengatasi perbedaan itu, bagi saya itu adalah kemunafikan. Pada saat negara
kita secara kolektif terhuyung-huyung dari kekejaman pembunuhan George Floyd di
jalanan Minneapolis, Minnesota, di negara ini di tangan seorang penegak hukum,
saya pikir sudah waktunya bagi kita (untuk angkat bicara). Sebenarnya, sudah
waktunya karena Roh Kudus berbicara kepada saya bahwa sudah waktunya bagi kita untuk duduk dan berbicara,” kata Furtick.
John Gray, seorang pendeta megachurch yang melakukan
pembahasan soal rasisme bersama Steven Furtick memujinya karena sedikit sekali pendeta kulit putih yang membicarakan hal tersebut.
Sementara Gereja Katolik, Vatikan juga menyampaikan bahwa
mereka tidak pernah mentoleransi rasisme. Hal ini disampaikan oleh Paus
Fransiskus terkait kasus kematian pria kulit hitam George Floyd di Minnesota pada 25 Mei 2020 lalu.
Paus sendiri menyampaikan bahwa 12 murid Yesus pun berasal
dari berbagai latar belakang dan konteks sosial. Tapi mereka justru bersatu di
tengah perbedaan tersebut. “Kita juga memiliki perbedaan. Misalnya perbedaan
pendapat, pilihan, kepekaan. Tapi godaan itu selalu untuk mempertahankan
ide-ide kita dengan keras, percaya bahwa itu baik untuk semua orang dan hanya
setuju dengan mereka yang berpikir serupa. Ini adalah godaan buruk yang membawa perpecahan,” ucapnya.
Karena itu Paus mendesak AS untuk mencapai rekonsiliasi
nasional menyusul beragam demonstrasi dan anarki yang terjadi di berbagai belahan negara.
“Teman-teman, kami tidak bisa mentolerir atau menutup mata
terhadap rasisme dan pengucilan dalam bentuk apapun dan belum mengklaim untuk
membela kesucian setiap kehidupan manusia. Di saat yang sama, kita harus
mengakui bahwa kekerasan baru-baru ini merusak diri sendiri. Tidak ada yang akan didapatkan dengan kekerasan dan banyak kehilangan,” ucap Paus.
Pada Rabu (3/6 ), Paus Fransiskus memberikan
dukungannya dengan ikut berpartisipasi dalam doa bersama dengan umat Kristen di
Minneapolis dan di seluruh negara Amerika untuk ketenangan jiwa George Floyd dan semua orang yang meninggal karena tindakan rasisme.
Sementara jika kita merujuk kepada injil, kita menemukan bahwa
perbedaan sudah dihapuskan di dalam Kristus. Sebaliknya, kita dituntut untuk mengenakan kasih sebagai pengikat satu sama lain.
“Dalam hal
ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang
merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”(Galatia 3: 28)
"Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan
hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri", kamu berbuat baik. Akan tetapi, jikalau kamu
menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri", kamu berbuat baik.Tetapi,
jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi
nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.” (Yakobus 2: 8-9)