Salah satu karakter yang perlu kita pelajari dari Yesus adalah kesabaran-Nya.
Dia bisa saja memakai mukjizat untuk mengoreksi setiap pandangan yang salah dan untuk menunjukkan kuasa-Nya. Tapi Yesus sama sekali gak melakukannya.
Sebagai Tuhan, Yesus sendiri lahir dengan cara yang normal,
sebagaimana manusia pada umumnya. Dia dikandung dalam rahim, menunggu sembilan bulan sampai Dia lahir.
Di keseharian-Nya, Yesus juga hidup seperti kita. Dia bekerja
dan makan. Dia menunggu selama 30 tahun untuk memulai pelayanan. Selama itulah Yesus menahan diri untuk menyatakan identitas-Nya sebagai Juru Slamat.
Yesus benar-benar menunjukkan kesabaran yang luar biasa
sepanjang hidup-Nya. Dia mungkin saja sudah mendengar beragam pandangan dunia soal
siapa Dia dan kenapa Dia harus menderita. Tapi Dia menahan diri untuk tidak berkomentar atau bahkan berdebat soal hal itu sampai waktu yang ditentukan Allah tiba.
Sementara di masa ini, kita berhadapan dengan perkembangan dunia
modern yang begitu pesat. Teknologi, kedokteran, ilmu pengetahuan telah
melahirkan beragam pandangan yang jelas sangat bertentangan dengan firman Tuhan.
Kita mendengar semua pandangan ini dan di satu sisi kita begitu geram dan di sisi lain kita merasa pandangan itu masuk akal dan mulai mengikutinya.
Rasa simpati atas nama kemanusiaan jadi salah satu tindakan keliru
yang digunakan untuk membenarkan pandangan tertentu. Kemanusiaan membuat kita
mulai geram dengan ketidakadilan dan penderitaan yang dialami orang lain. Kita berpikir kalau manusia gak seharusnya menderita. Lalu kita mulai menyuarakan keadilan.
Pandangan ini sangat berbahaya bagi kekristenan. Karena bertentangan
dengan apa yang Yesus lakukan sendiri dimana Dia memilih untuk sabar dalam penderitaan-Nya.
Di Perjanjian Baru, saat Petrus meresponi ucapan Yesus soal penderitaanNya, Petrus memberikan respon alami dan tampak sangat manusiawi kepada Yesus.
Baca Juga:
Tanda Ini Buktiin Kamu Lagi Dalam Musim Ujian Rohani, Siapkan Dirimu!
Tuhan Juga Memilih Pemimpin Berdasarkan Kualifikasi, Berikut 5 Diantaranya…
Tapi bukannya membela, Yesus malah menghardik Petrus dengan keras.
“Sejak
waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke
Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam
kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.
Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: "Tuhan,
kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa
Engkau." Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: "Enyahlah
Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa
yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."” (Matius 16: 21-23)
Dalam hal ini, Yesus menyampaikan bahwa suatu pandangan yang menunjukkan
kepedulian kepada orang lain justru bisa jadi godaan bagi kita untuk tidak berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Dalam hal ini, Petrus memang tampak ingin sekali Yesus menyelamatkan
dirinya. Sebagai pribadi yang cukup dekat dengan Yesus, dia wajar menyampaikan hal
itu. Tapi sikap Petrus sama sekali bertentangan dengan rencana Tuhan dimana Yesus
harus menderita demi dosa manusia. Karena tanpa salib, kekristenan tidak akan pernah ada.
Sikap seperti yang disampaikan Petrus inilah yang bisa
mengancam kekristenan. Penderitaan adalah bagian dari perjalanan orang Kristen. Inilah sebabnya Yesus menyampaikan apa yang akan Dia alami kepada murid-murid-Nya.
“Setiap
orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan
nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan
memperolehnya.” (Matius 16: 23-24)
Tak akan ada kekristenan tanpa salib. Karena itulah, tidak akan
ada kekristenan tanpa penderitaan.