Sebelum masuk ke dalam artikel ini, yuk jawab pertanyaan ini
dulu. Apakah kamu sudah puas sama
hidupmu? Atau dalam bahasa sederhananya, sudahkah kamu menikmati hidupmu sepenuh-penuhnya?
Hidup kita bisa didikte oleh perasaan kita. Kita bisa
mengalaminya kapan saja. Merasa frustrasi, hilang harapan dan kecewa sama diri
sendiri waktu apa yang kita mau belum terjadi atau bahkan gak sesuai sama harapan kita.
Satu-satunya cara untuk menjalani hidup sepenuh-penuhnya adalah
dengan tidak membandingkan atau tidak mendikte diri sendiri dengan kehidupan, keberhasilan, jabatan, posisi atau keberuntungan orang lain.
Perlu Usaha Untuk Bisa Puas Sama Hidupmu
Emosi adalah musuh terbesar setiap orang. Kita gak akan bisa menikmati
hidup kalau kita gak mengalami kepenuhan hidup di dalam Kristus. Itu sebabnya kita
harus berjuang setiap hari untuk memandang kalau diri kita, hidup kita dan apa yang kita punya sekarang harus kita nikmati sepenuhnya.
Misalnya, buat para single yang sudah cukup umur. Di satu
sisi kita mungkin akan bergumul soal pasangan hidup. Kita membandingkan diri sama
sebaya kita yang sudah menikah dan bahkan sudah punya anak. Untuk pasangan
menikah, misalnya, merasa belum puas sama hidupnya karena melihat tetangga yang
hidupnya jauh lebih sejahtera. Dan ada banyak kondisi di luar sana yang membuat kita membandingkan diri dan merasa tertinggal dari orang-orang itu.
Apa kamu merasa tertinggal? Apa kamu merasa gak puas sama yang
kamu jalani dan miliki saat ini? Mungkin kamu sedang belum merasakan kepenuhan di dalam Kristus.
Mungkin beberapa orang diantara kita sedang berada dalam
musim dimana hampir semua bidang kehidupannya mengalami transisi. Bagi yang
sudah menikah, misalnya, harus pindah kerja atau kehilangan pekerjaan atau harus
mengurus anak. Buat yang masih single, misalnya tertekan sama kerjaan, gak punya teman dan menantikan pasangan hidup.
Ketidakpuasan hidup yang kita alami semakin diperparah dengan
pandangan-pandangan kita yang salah. Kita mulai membandingkan diri dengan orang
lain. Kita mulai berkecil hati melihat kemajuan dan kebahagiaan orang lain di
media sosial, di tempat kerja dan di gereja. Kita menyaksikan teman dan rekan kerja
kita sukses, jadi pemimpin, punya keluarga bahagia dan sejahtera secara
finansial. Kebiasaan membandingkan diri inilah yang pelan-pelan akan menghanyutkan kita ke dalam keterpurukan yang semakin dalam.
Cara Mengalami Kepuasan di Dalam Tuhan
Alkitab adalah buku panduan orang percaya untuk bisa mengalami
kepuasan di dalam Tuhan. Yesus meminta Petrus untuk memberi makan domba-dombanya
dan Petrus berulang kali menyatakan kasihnya kepada Yesus. Yesus juga menyampaikan
bagaimana Petrus akan mengalami penolakan dan dia akan dibawa ke tempat yang tak
dia inginkan. Tapi Petrus justru balik bertanya kepada Yohanes, “Apa yang akan
terjadi dengan dia ini?” Dia sepertinya mulai ketakutan, mulai cemburu dan jiwa persaingannya mulai muncul.
Tapi Yesus menjawab, “Jikalau
Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (Yohanes 21: 22)
Waktu kita memusatkan perhatian kita ke orang lain, entah keberhasilan mereka atau kegagalan mereka, kita menggagalkan hubungan kita sendiri dengan Kristus dan orang lain. Kita butuh kebenaran injil untuk mengembalikan pandangan kita.
Baca Juga:
Waktunya Tuhan Gak Bisa Ditebak, Pahami Lewat Percakapan Anjing dan Gajah Ini
Biar Imanmu Gak Goncang, Alami Tuhan Karena FirmanNya Bukan Karena Perasaanmu
Kita harus melihat orang lain sebagai satu anggota dimana Tuhan sudah memberikan tugas masing-masing sesuai dengan perannya (1 Korintus 12).
Kita juga harus memandang orang-orang yang tidak percaya,
tapi hidupnya tampak lebih diberkati dari kita, dengan belas kasihan karena
kita tahu Tuhan sendiri punya agenda atas hidup mereka. Kita ditugaskan untuk
membagikan harapan yang kita miliki bersama mereka dengan lemah lembut dan rasa
hormat (1 Petrus 3: 15). Taka da ruang untuk membandingkan diri dengan orang lain atau untuk hanya fokus pada kepentingan kita sendiri.
Selain membandingkan diri dengan orang lain, kita juga bisa mengalami ketidakpuasan dalam hidup saat kita mempercayai kebohongan.
Dalam 1 Timotius 6: 3-8 disampaikan bahwa “Jika seorang mengajarkan ajaran lain dan
tidak menurut perkataan sehat--yakni perkataan Tuhan kita Yesus Kristus--dan
tidak menurut ajaran yang sesuai dengan ibadah kita,ia adalah seorang yang
berlagak tahu padahal tidak tahu apa-apa. Penyakitnya ialah mencari-cari soal
dan bersilat kata, yang menyebabkan dengki, cidera, fitnah, curiga,percekcokan
antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran, yang mengira ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan.”
Ya, interpretasi yang salah hanya akan membuat seseorang terperangkap
pada pandangan yang salah. Dampak jangka panjangnya adalah membuat kita kehilangan
kepercayaan yang benar tentang Tuhan dan tentang janji-janjiNya. Kita juga akan lebih banyak dipimpin oleh ambisi, tujuan pribadi dan kesombongan.
Karena itulah, kita harus berjuang untuk mengalami kepuasan atas
hidup kita. Paulus menulis dalam 1 Timotius 6: 11-12, “Tetapi engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah
keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Bertandinglah
dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah
engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikrar yang benar di depan
banyak saksi.”
Kita butuh pertolongan Tuhan dalam perjuangan ini. Dengan kembali
kepada firman Tuhanlah cara pandang kita terhadap diri sendiri, kehidupan kita
dan orang di sekitar kita akan berubah.