Jumat lalu
(17/5/2019), parlemen Taiwan melakukan pemungutan suara untuk pengesahan
undang-undang pelegalan pernikahan sesama jenis di pulau itu. Hasilnya sangat
mengejutkan, karena pada akhirnya dua tahun sejak rancangan undang-undnag
pernikahan sesama jenis diajukan pada tahun 2017 lalu, akhirnya minggu lalu
disahkan.
Perayaan yang tidak
biasa tampak di jalan-jalan di kota Taipe, karena orang-orang dari kelompok
LGBT dan juga para pendukungnya turun ke jalan untuk meluapkan kegembiraan
atas keputusan tersebut. Walau demikian masih ada beberapa batasan, salah
satunya adalah masalah melakukan adopsi, pasangan sesama jenis dilarang
melakukan adopsi terhadap anak yang tidak memiliki hubungan darah.
“Ini bukanlah skenario
sempurna yang diharapkan oleh banyak kelompok LGBT,” demikian pernyataan Suki
Chung dari manager kampanye wilayah Asia dari Amnesty International.
“Tetapi ini adalah
scenario terbaik berdasarkan konteks dan debat politik di Taiwan,” demikian
tambahnya.
Bagi para pendukung
LGBT, tentu ini kabar baik. Namun bagi para pendukung pernikahan tradisional,
yang berdasarkan kebenaran Firman Tuhan tentu hal ini kabar miris. Langkah yang
diambil oleh Taiwan pasti tidak lama lagi akan diikuti oleh negara-negara Asia
lainnya.
Sebagai contoh, di
Thailand saat ini sudah dibuat draf aturan di mana pasangan sesama jenis boleh
menikah secara sipil. Bahkan Jepang, menurut sebuah lembaga hak azasi manusia
pada Jumat minggu ini akan bergerak maju untuk melindungi komunitas LGBT
menjelang penyelenggaraan Olimpiade 2020 di Tokyo.
Pada tahun 2018 lalu,
pemerintah Tokyo melakukan voting untuk melarang diskriminasi berdasarkan
identitas gender dan orientasi seksual. Pada Februari 2019 lalu, belasan
pasangan sesame jenis menuntut pemerintah Jepang ke pengadilan karena gagal
mengakui pernikahan sesama jenis.
Gerakan kesetaraan
LGBT adalah sebuah gerakan Internasional, yang saat ini menyasar negara-negara
Asia untuk memberikan pengakuan dan perlindungan untuk komunitas LGBT.
Brunei Darussalam yang
pada awal tahun lalu menyatakan bahwa hukum di negara tersebut akan menggunakan
hukum syariah yang akan memvonis mati pasangan LGBT dengan hukuman lempar batu, namun mendapatkan tekanan dari Internasional. Hingga pada bulan Maret 2019 lalu,
akhirnya Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah akhirnya mengumumkan akan menunda
pelaksanaan hukum tindak pidana terhadap pasangan gay ini.
Sebagai umat Kristen, kita tentu tidak bisa menganggap remeh apa yang terjadi saat ini. Kebenaran dan moralitas saat ini dikompromikan atas nama hak azasi manusia, dan hal ini menjadi gerakan global. Tentu gereja harus peka dalam menyikapi hal ini, terus berdoa dan juga menyatakan kebenaran dalam masalah ini. Gereja harus bergerak bersama dalam menghadapi pengaruh gerakan LGBT, sebab masa depan umat dipertaruhkan.
Baca juga :
Mark McClendon : Pernikahan Sesama Jenis Bertentangan dengan Alkitab
Pernah Jadi Bagian LGBT, Mereka Yang Telah Pulih Sebarkan Kasih Kristus Lewat Cara Ini