3 Fakta Soal Penghapusan Kata Kafir Oleh NU, Picu Pro Kontra Loh!
Sumber: Jawaban.com

Nasional / 4 March 2019

Kalangan Sendiri

3 Fakta Soal Penghapusan Kata Kafir Oleh NU, Picu Pro Kontra Loh!

Lori Official Writer
3190

Kata kafir kembali jadi perbincangan hangat setelah pihak Nahdatul Ulama (NU) memutuskan penghapusan kata ini lewat sidang komisi Muqsithnya yang digelar di Bantar, Jawa Barat.

Kafir sendiri adalah sebutan umat Muslim kepada orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Namun mengingat beragam kasus yang terjadi di Indonesia, NU memutuskan untuk melarang penggunaan kata tersebut.

“Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata KH. Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar NU, seperti dikutip Kompas.com, Jumat (1/3).

Abdul menyampaikan para kiai telah sepakat untuk menghapus kata kafir dan memakai istilah muwathinun atau warga negara sebagai sebutan kepada non-Muslim. Istilah baru in dianggap jauh lebih menunjukkan kesetaraan antar warga negara yang berbeda keyakinan. “Dengan begitu, status mereka setara dengan warga negara yang lain,” katanya.


Sayangnya, keputusan NU ini banyak menuai pro dan kontra dari kalangan Muslim sendiri. Sementara lembaga agama lainnya tampak tak terlalu peduli dengan perubahan tersebut. Dari berbagai pro dan kontra ini, ada 3 fakta yang perlu diketahui tentang penghapusan kata kafir diantaranya:

1. Penghapusan kata kafir picu perdebatan antar lembaga Muslim

Forum Umat Islam (FUI) sendiri menyayangkan keputusan NU dan menyebutnya beraroma politis. Mereka mengaku curiga jika keputusan itu diambil karena adanya motif politik.

“Saya punya perkiraan, analisis saja, ada hoaks baru yang mengatakan bahwa kafir dianggap memiliki nilai negatif. Padahal menurut Islam, istilah kafir ini ungkapan yang jauh lebih netral,” ucap Muhammad Al Khaththath, Sekretaris Jenderal FUI.

2. Penghapusan kata kafir tidak ada hubungannya dengan hukum

Mahfud MD menyampaikan pendapatnya bahwa penghapusan kata kafir tidak berkaitan dengan hukum. Jadi, tak perlu persetujuan dari mahkamah konstitusi untuk memutuskan hal itu.

“Kalau dari pandangan ilmu hukum, tidak perlu persetujuan saya atau siapapun karena pendapat ‘tak boleh menyebut kafir’ itu memang tidak ada faktanya di dalam konstitusi dan hukum kita. Kita setuju atau tidak setuju ya tak ada pengaruh pd konstitusi dan hukum kita,” tulis Mahfud MD dalam Twitter-nya.

Mahfud sendiri mengaku tak mempermasalahkan penggunaan kata tersebut. Karena menurutnya, di dalam kitab suci Islam, kata itu jelas disebutkan dan itu hanya sebutan.

Baca Juga :

Soal Kristen adalah Kafir, Guru Besar Sejarah Gereja Surati MUI

Bersama Para Pendeta, PSI Kerjasama Tangkal Intoleransi di Sulawesi

3. Lembaga agama sampaikan apresiasi kepada NU

Meskipun demikian Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengapresiasi langkah NU ini. Namun sejak awal mereka sama sekali tak mempermasalahkan istilah tersebut. Walubi bahkan legowo dengan sebutan apapun.

“Umat Budha seharusnya tidak mempermasalahkan panggilan orang atau apa kata orang. Karena tak semestinya menuntut orang lain untuk menghormati. Persoalan orang lain menghormati kami atau tidak, itu karma kami sendiri. Kami sudah buat kebijakan, namun orang masih menghina kami, ya itu urusan mereka, bukan urusan kami. Justru kami dapat karma baik,”ucap Rusli Tan, Koordinator Publikasi Walubi.

Senada dengan itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga meresponi langkah NU sebagai keputusan yang sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh NU selama ini.

Meski begitu, PGI mengaku jika tanpa keputusan itupun NU tetaplah lembaga agama Muslim yang tak pernah mengkafirkan Non-Muslim di Indonesia.

“Namun keputusan ini menjadi penting, ssebagai penegasan untuk menola fenomena yang berkembang dewasa ini, yakni semangat mengkafirkan umat lain oleh sebagian umat Islam,” kata Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom.

Dia menambahkan fenomena penggunaan kafir ini memang sudah di luar batas. Selain dianggap sebagai kekerasan teologis, kata kafir juga bisa mengusik persaudaraan dan kerjasama sesama anak bangsa.

“Tentu kami tidak hendak menggugat penggunaan kata kafir dalam kitab suci, kalau itu memang ada. Namun dalam terang masyarakat majemuk, dan dalam perspektif kemanusiaan sejati, patutlah kita mengembangkan pemahaman yang lebih menghargai satu sama lain,” tegasnya.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga mengambil langkah serupa terhadap keputusan NU. “Apa yang dilakukan oleh saudara kami dari NU adalah hal yang positif demi terbinanya ketertiban, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, kami ikut mendukung,” kata Sekretaris Bidang Hubungan Internasional PHDI Pusat, AA Ketut Diatmika.

Meskipun ada begitu banyak perdebatan seputar penggunaan kata kafir ini. Namun, kita tetap berharap supaya keputusan NU ini bisa membawa dampak positif terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Serta mampu meminimalisir konflik antarumat beragama yang semakin meningkat belakangan ini.

Sumber : Berbagai Sumber/Jawaban.com
Halaman :
1

Ikuti Kami