Kali ini, seorang
anak laki-laki berusia 14 tahun menikahi anak perempuan berusia 15 tahun. Sayangnya,
anak laki-laki bernisial AD yang masih duduk di kelas 5 SD itu terpaksa menikahi D yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
Menurut
penuturan orangtua kedua belah pihak, pernikahan D dan AD terpaksa dilakukan untuk
mencegah perbuatan terlarang menurut agama. Pasalnya, keduanya dinilai kerap berduaan dan selalu membangkang jika diingatkan.
“(Mereka) Terpaksa
dinikahkan karena tidak mau ditegur lagi, ditegur di rumah kabur ke rumah
perempuannya. Ditegur di rumah perempuan kabur ke rumah orang lain,” kata ayah sang anak laki-laki.
Pernikahan
dini anak asal Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan ini pun menjadi viral
di media sosial. Bahkan pihak pemerintah setempat mulai mengusut kebenaran pernikahan dini ini.
Sekretaris
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) Balangan membenarkan jika anak SD dan SMP ini sudah dinikahkan pada Kamis, 31 Januari 2019.
Mengingat keduanya
sudah terlanjur dinikahkan, pihak P2PA hanya bisa melakukan pembinaan terhadap
kedua anak tersebut. Pembinaan ini meliputi penyampaian soal kondisi kesehatan,
reproduksi dan masalah pendidikan kedua anak. Termasuk juga membicarakan soal legalitas status pernikahannya.
Kasus
pernikahan anak di bawah umur memang sudah mulai marak terjadi. Keberadaan
undang-undang (UU) perkawinan dan UU anak yang berisi soal batas usia menikah tampaknya belum dijalankan dengan maksimal.
Hal ini
disebabkan karena baik UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, keduanya
menerapkan batas usia minimal menikah yang berbeda. Dimana UU perkawinan, anak
boleh menikah minimal 16 tahun atau bahkan di bawah 16 tahun asal ada persetujuan orang tua. Dan di UU Perlindungan Anak, usia minimal menikah ditetapkan 18 tahun.
Sementara
di dalam ajaran agama dimemang tak disampaikan secara langsung soal batas
menikah. Namun, kebanyakan pernikahan dini terjadi karena orangtua menghormati ajaran
agamanya, yaitu untuk mencegah anak dari pergaulan bebas.
Meski begitu,
pernikahan tak selalu menjadi jalan keluar. Sebab, anak bisa dibimbing secara rohani
termasuk soal makna menjaga kekudusan sebelum cukup usia untuk menikah. Dan hal itu diharapkan bisa dilakukan oleh orangtua yang berperan sebagai pembimbing bagi anak. Namun, jika orangtua seakan menemukan jalan buntu akan jauh lebih baik jika didiskusikan lebih dulu dengan beberapa pihak berwenang, baik dari pemimpin keagamaan maupun pihak perlindungan anak. Hal ini bertujuan untuk menjamin anak tetap bisa menyelesaikan pendidikannya lebih dulu dan menentukan arah masa depan di usianya yang masih belia.