Pemotongan Salib Nisan di Yogyakarta Bikin Geger, Berikut Fakta-faktanya…
Sumber: Merdeka.com

Nasional / 19 December 2018

Kalangan Sendiri

Pemotongan Salib Nisan di Yogyakarta Bikin Geger, Berikut Fakta-faktanya…

Lori Official Writer
3776

Sebagai pemakaman umum, tentu saja siapapun bisa berhak dimakamkan tanpa memandang suku, rasa dan agama (SARA). Tapi tidak dengan seorang warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta Albertus Slamet Sugihardi yang baru-baru ini meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman umum dekat kediamannya.

Seperti diketahui, berita pemakaman Albertus menjadi viral setelah sebuah foto tersebar di media sosial yang menunjukkan bagaimana warga memotong salib simbol keagamaan umat Kristiani yang disematkan di makam seseorang yang meninggal.

Berita inipun menimbulkan kericuhan baik di dunia maya maupun pihak-pihak tertentu. Baik Komnas HAM sendiri menilai tindakan pemotongan salib bagian atas itu telah menodai toleransi di Indonesia.

Sebelum berita ini semakin memanas, ada baiknya untuk mengetahui beberapa fakta dibalik kejadian yang terjadi.

Fakta 1: Albertus Slamet Sugihardi adalah salah satu warga yang aktif mengikuti kegiatan warga, seperti arisan, ronda dan kegiatan lainnya.

Namun keluarga adalah satu-satunya warga Non-Muslim di lingkungan tinggalnya dan kebanyakan diantaranya adalah umat Muslim. Mereka adalah jemaat Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan.

Fakta 2: Slamet adalah pelatih paduan suara ibu-ibu Muslim di lingkungan Purbayan.

Meskipun dirinya adalah seorang Kristiani, Slamet dikenal kerap terlibat dalam kegiatan agama mayoritas di sana.

Fakta 3: Lingkungan tempat Slamet dan keluarga tinggal sangat rentan terhadap simbol-simbol agama di luar Muslim.

Lantaran ditinggali oleh mayoritas umat Muslim, warga setempat menolak adanya simbol-simbol keagamaan lain di lingkungan tersebut. Keluarga Slamet pun pernah didatangi warga karena menggelar ibadah kekristenan di rumahnya. Dari sejak itu, keluarganya dan warga Katolik lain diminta untuk tak lagi menggelar ibadah keagamaan di sana.

Fakta 4: Lantaran dikenal sebagai lingkungan Muslim, warga non-Muslim harus mengikuti aturan yang ditetapkan bersama.

Dikutip dari tirto.id, kejadian pemotongan salib nisan Slamet diakui telah mendapat persetujuan dari istri, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Hal ini dilakukan karena pemakaman Jambon tempat Slamet dikebumikan sebagian besar yang dimakamkan adalah orang Muslim. Makam ini sendiri sebenarnya akan dijadikan pemakaman khusus Muslim.

“Sebenarnya kuburannya, 99 persen untuk orang Islam. Jadi mungkin sudah jadi aturan biar tidak menimbulkan konflik, kan baru ini juga ada yang non-Muslim di situ,” kata Soleh Rahmad Hidayat, Ketua RT 53.

Sementara warga Katolik lainnya, Wiwik mengaku kalau di lingkungan tempat tinggal mereka itu memang sangat dikenal sikap keras menolak simbol-simbol kekristenan. Karena itulah mereka memilih untuk menaati peraturan yang sudah dibuat.

“Kalau umat lingkungan enggak ada yang protes. Hanya kalau ada kejadian tertentu lapor ke gereja, nanti gereja yang menangani. Kami menyadari, kami ini minoritas. Lebih baik mengalah,” ucap Wiwik.

Fakta 5: Tempat pemakaman Slamet dipilih karena kondisi terdesak.

Pemilih tempat pemakaman Slamet itu rupanya dilakukan karena kondisi terdesak. Meski diberi ijin, namun keluarga harus mematuhi ketetapan yang dibuat oleh warga yaitu memberikan tempat yang paling pinggir kepada makam Slamet dan tidak menyematkan simbol-simbol Kristen di makam tersebut.

Fakta 6: Surat kesepakatan pemotongan salib ditandatangani oleh istri Slamet

Pemotongan salib nisan itu rupanya telah disepakati di atas secarik surat yang ditandatangani oleh istrinya, Maria Sutris Winarni. Maria menulis kalau dirinya ikhlas dan menerima jika simbol agama yaitu nisan Salib di makam suaminya dipotong oleh warga. Surat itu ditandatangani Maria di atas materai.

Selain fakta-fakta di atas, sebelum Slamet dimakamkan keluarga juga dilarang oleh warga untuk menggelar beberapa ritual agama yang biasanya dilakukan oleh Gereja Katolik seperti misa arwah. Akibatnya, keluarga pun memilih untuk menggelar ritual agama di gereja Santo Paulus.

Sementara Ketua RW Bejo menampik jika warga setempat melakukan tindakan intoleransi. Pasalnya, mereka dinilai cukup toleran dengan memperbolehkan Slamet dimakamkan di pemakaman setempat. Mereka juga telah membantu keluarga Slamet untuk mengurus segala keperluan pemakaman, seperti pemandian jenazah, meminjam mobil ambulans dan membawa jenazah dari rumah sakit ke rumahnya.

Sementara Anggota Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Antonius Fokki Ardiyanto mengatakan supaya kasus ini segera diselesaikan dengan baik.

“Saya dengar itu makam kampung bukan makam Muslim. Ya minta pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan dengan bijak. Kalau Muslim dikasih tulisan. Tapi masa orang meninggal saja pilih-pilih antara yang muslim dan bukan? Kita ini Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Kalau makan disendirikan, kos-kosan disendirikan bagaimana? Kalau itu dibiarkan malah bisa membuat degradasi ideologi kita. Dan itu tanggungjawab negara, walikota dan termasuk DPRD,” ucapnya.

Ya, kita berharap supaya masalah ini segera ditangani dengan baik tanpa merugikan pihak manapun. Supaya hal itu tak menimbulkan pencemaran terhadap toleransi yang sudah kita junjung bersama di Indonesia.

Sumber : Berbagai Sumber/Jawaban.com
Halaman :
1

Ikuti Kami