Namanya Rina, seorang wanita yang merintis
karir di Ibukota. Perjalanan menuju kantornya sekitar setengah jam. Kalau tidak
macet. Agar tidak kena macet, ia harus datang jauh lebih pagi. Di sebelah Rina, ada seorang teman yang juga satu arah dengan Rina, namanya Neysa.
Meski satu arah, Rina harus memutar balik
mobilnya agar bisa menurunkan Rina tepat di depan kantornya. Kalau diturunkan
asal di pinggir jalan, Rina tidak tega karena arus lalu lintas cukup padat yang membuat Neysa sering kesulitan menyeberang.
Hal ini kemudian membuat Rina sering kena
macet. Suatu hari, ia berpikir, “Kalau bareng sama Neysa, aku pasti kena macet.
Bensin pun jadi cepat habis. Pengin bilang agar bisa berangkat lebih pagi,
tetapi aku sendiri tidak yakin kalau bisa bangun lebih pagi daripada biasanya.”
Kebiasaan ini kemudian sering membuat Rina menyesal dan bersungut-sungut usai menurunkan Neysa di depan kantornya.
Niat Rina yang bersedia untuk barengan bersama
Neysa itu baik. Rina sudah menjadi berkat. Hanya saja, kebiasaannya untuk
bersungut-sungut dan menyesal karena sudah berbuat baik itu tidak baik. Untuk bisa menjadi berkat, kita perlu sebuah kerelaan hati.
Sikap yang mau membantu itu sangat baik.
Artinya kita sudah bisa menjadi berkat bagi orang lain. Hanya saja, ketika kita
kerepotan, nggak jarang kita justru bersungut-sungut dan menyesal telah membantu orang tersebut.
Ketika kita berada dalam posisi seperti Rina, berikut adalah beberapa hal yang perlu kita ingat.
Pertama, menyadari bahwa segala hal yang
kita miliki adalah dari Tuhan. Kita hanya bertindak sebagai pengelola. Tuhanlah
yang kaya, bukan kita. Filipi 4:11 “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.”
Bisnis, pekerjaan, berkat, kekuatan dan berbagai
sumber merupakan milik Tuhan. Ketika kita menyadari akan hal ini, maka kita
akan menjadi pribadi yang punya kerelaan hati saat membantu orang lain. Kasih
Tuhan yang menjadikan kita sebagaimana sekarang ini, jadi kenapa kita tidak mengucap syukur lewat membantu orang lain?
Kedua, Tuhan selalu menyertai kita. Masih
ingat kisah Yusuf? Kita tahu kalau sejak awal, Tuhan sudah menyertai kehidupan
Yusuf, karena itu dirinya mendapat berkat dari Tuhan. Yusuf yang rela menjalani
berbagai kesulitan hidupnya ini menjadi seorang yang sukses berkat penyertaan Tuhan dalam hidupnya.
Ketiga, ketika Tuhan menyertai kita, maka
tidak hanya kita yang diberkati, melainkan juga orang lain. Potifar yang
rumahnya ditempati oleh Yusuf pun turut diberkati oleh Tuhan. Kejadian 39:5, “Sejak
ia memberikan kuasa dalam rumahnya dan atas segala miliknya kepada Yusuf, TUHAN
memberkati rumah orang Mesir itu karena
Yusuf, sehingga berkat TUHAN ada atas segala miliknya, baik yang di rumah maupun yang di ladang.”
Kehadiran kita sebagai anak Allah adalah untuk
menjadi berkat bagi sesama. Seharusnya kita menyadari kalau hal ini merupakan
sebuah kehormatan, bukannya beban. Tuhan telah memberikan berkatNya bagi kita,
lewat penyertaannya, kita mengalami banyak hal yang baik.
Galatia 6:10, “Karena itu, selama masih ada
kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita seiman.”