Suatu hari, Nina punya sebuah
masalah dengan teman satu komselnya. Ia menyadari betul kalau dirinya telah
melakukan kesalahan dan mencoba untuk memperbaikinya. Bukannya hubungan Nina dan temannya jadi makin baik, tetapi justru sebaliknya.
Teman satu komselnya ini adalah
pribadi yang cukup dekat dengannya. Ia merasa sangat bersalah dan hal ini
membuatnya menangis setibanya ia di rumah. Sebagai suami, Rino ingin membantu istrinya yang sedang sedih ini.
Ia bertanya tentang apa yang terjadi dan
mencoba untuk mencari jalan keluar agar perasaan Nina lebih baik. Rino duduk
sebelah Nina dan berkata, "Kayaknya ini memang salah paham aja, deh. Kenapa nggak coba untuk ngomong langsung aja ke temanmu itu?"
Bukannya menjawab pertanyaan Rino, Nina justru memandang Rino dan menanggapinya dengan 2 pertanyaan yang membuat Rino bungkam.
"Kenapa semua yang aku ceritakan ini harus
berujung pada sebuah solusi atau merasa ada sesuatu yang perlu dibenarkan?"
"Apa kamu nggak peduli dengan apa yang aku rasakan?"
Nina langsung melangkah menuju kamar mandi, yang kemudian membuat suaminya bertanya-tanya tentang sikapnya ini.
Pertanyaan yang ada dalam pikiran
Rino ini sudah ada jawabannya dalam Alkitab, "Demikian juga kamu, hai
suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah!
Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, suapaya doamu jangan terhalang." (1 Petrus 3:7).
Dr. Sue Johnson, seorang pakar
hubungan pernikahan mengatakan kalau ada 3 hal yang dapat membuat kita menjadi semakin memahami istri kita.
1. Accessibility
Aksesibilitas berarti sikap
terbuka terhadap emosi pasangan. Kebanyakan orang menginginkan untuk dipahami,
dan salah satu caranya adalah dengan rasa nyaman yang timbul saat sedang berbagi mengenai apa yang sedang kita rasakan. Ini adalah inti dari keintiman.
Meskipun nggak selalu mudah,
terutama di dunia yang sudah modern, dimana karir, smartphone, dan banyak hal
lainnya menjadi penghalang buat kita untuk bersikap terbuka dengan pasangan soal apa yang benar-benar rasakan.
2. Responsiveness
Responsif berarti menempatkan diri kita
pada emosi pasangan. Pasangan tidak hanya mau kita melihat kesulitan yang
dialaminya, ia juga mau kita peduli terhadap apa yang dirasakannya. Inilah
pentingnya buat kita untuk belajar empati, dimana kita merasakan kesulitan bersama-sama dengan pasangan.
Hal ini juga diajarkan oleh Yesus
kepada kita. Ketika hendak membangkitkan Lazarus, Yohanes 11:35, "Maka menangislah Yesus."
Ayat di atas membuat kita
bertanya, kenapa Yesus harus menangis bersama-sama dengan saudari Lazarus,
padahal sudah jelas sekali kalau Ia akan membangkitkannya. Lewat cerita ini,
Yesus mengajarkan kita untuk memiliki sikap empati. Penting buat kita untuk memahami dan bersama-sama dengan orang yang sedang mengalami kesulitan.
3. Engagement
Setelah kita membuka hati dan
bersikap empati terhadap pasangan, kini kita tinggal melakukan langkah
akhirnya, yaitu dengan menganggap pasangan sebagai orang yang paling berharga. 1 Petrus 3:27 menjelaskan kalau wanita merupakan kaum yang lebih lemah.
Rasul Petrus tidak menjelaskan kalau wanita
memang lebih lemah secata emosional, pemikiran, spiritual, atau hal lainnya.
Hanya saja, saat ayat ini di tulis, Rasul Petrus menyadari kalau wanita hanya memiliki sedikit hak.
Bahkan, pada jaman Roma kuno, nggak jarang
kalau istri diibaratkan sebagai sebuah properti. Lewat ayat ini, Petrus mau
mengingatkan agar suami memandang istri sebagai teman pewaris dari kasih karunia. Istri merupakan harta yang tidak ternilai.
Lewat tiga langkah di atas, kita kembali
diingatkan untuk membuka hati dan bersedia untuk bersama-sama dengan istri
kita. Cara ini membuat kita menjalin sebuah hubungan yang kian dekat dengan
memahami perasaannya.