Sungguh
malang nasib Meiliana, perempuan 44 tahun asal Medan, Sumatera Utara (Sumut). Karena
protes dengan pengeras suara adzan masjid yang berlokasi dekat dengan rumahnya di Tanjung Balai, Sumut, dia harus divonis penjara 1 tahun 5 bulan.
Meiliana yang
berdarah Tionghoa itu dijatuhi pasal ujaran kebencian dan penodaan agama seperti
tercantum dalam Pasal 156 dan 156a KUHP. Vonis ini dijatuhkan Pengadilan Negeri Medan pada sidang yang digelar Selasa, 21 Agustus 2018 kemarin.
Protes yang dilakukan Meiliana ini sebenarnya terjadi pada tahun 2016 silam. Saat meminta pengurus masjid mengecilkan pengeras suara, para jemaat justru marah dan melaporkan hal tersebut kepada Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara. Dia akhirnya diproses secara hukum dan dinyatakan sebagai tersangka pada 30 Mei 2018 lalu.
Baca Juga :
Ahok : Orang Mulai Sadar Saya Difitnah Soal Penodaan Agama
Menteri Agama Minta Tidak Ada Pihak Yang Intervensi Proses Kasus Penodaan Agama Ahok
Namun kasus
yang menimpa Meiliana ini mendapat simpati dari Amnesty Internasional Indonesia.
Mereka mengeluhkan keputusan pengadilan terkait vonis yang diterima Meiliana lantaran hal tersebut tak seharusnya dipermasalahkan secara hukum.
“Menghukum seseorang
hingga 18 bulan penjara karena sesuatu yang sangat sepele adalah ilustrasi gamblang
dari penerapan hukum penodaan agama yang semakin sewenang-wenang dan represif di
negara ini,” kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamis, seperti dikutip Suara.com, Rabu (22/8).
Menurut Usman,
mengajukan keluhan tentang kebisingan suara bukanlah pelanggaran pidana. Sebaliknya,
pengadilanlah yang dinilai telah melakukan pelanggaran kebebasan berekspresi yang
mencolok. “Pengadilan tinggi di Sumatera Utara harus membalikkan ketidakadilan
ini dengan membatalkan hukuman Meiliana dan memastikan pembebasannya segera
tanpa syarat,” tegasnya.
Pasal penyebaran
ujaran kebencian dan penodaan agama memang masih terus jadi kontroversi di
bangsa ini. Akibat pasal ini, banyak korban yang bisa dibilang dirugikan lantaran
kasus yang menimpa mereka tak sepenuhnya murni adalah pelanggaran hukum. Dari
itu, mari terus mendesak pemerintah untuk segera merevisi pasal hukum terkait ujaran
kebencian dan penodaan agama ini.